Oleh : Novita sari yahya
Saya merasa terpana ketika melihat sebuah video yang memperlihatkan Bu Titik Soeharto mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah kayu berdiameter besar yang jelas memerlukan waktu puluhan tahun untuk tumbuh ditebang begitu saja. Penebangan liar dan aktivitas tambang ilegal kini menjadi penyebab langsung banjir bandang di berbagai daerah. Lebih menyedihkan lagi, ada orang-orang yang disebut berakal sehat bahkan pejabat tetapi justru berlogika seolah kerusakan tidak ada hubungannya dengan perusakan alam.
Karena itu, ketika membaca bahwa di Tiongkok saat ini tumbuh gerakan besar menanam pohon dan bahwa anak-anak sejak TK hingga SD diajarkan berkebun, memasak, dan mengenal lingkungan, saya merasa praktik seperti itu sangat layak diketahui dan ditiru oleh kita, terutama para orang tua di Indonesia.
Menanam sebenarnya bukan sekadar aktivitas menaruh benih ke tanah. Ia adalah cara membangun karakter, menumbuhkan kesadaran lingkungan, dan menyiapkan masa depan. Melalui kegiatan menanam, kita menumbuhkan rasa peduli dan menghargai kehidupan. Nilai yang kini sangat dibutuhkan di tengah krisis lingkungan dan sosial.
Dengan latar itu, saya melihat pendidikan menanam sebagai bagian dari budaya yang seharusnya tumbuh kembali. Ia bukan hanya untuk penghijauan, tetapi juga untuk membangun manusia yang lebih peduli, mandiri, dan sadar atas proses alam.
Praktik di Tiongkok: Pendidikan Holistik yang Menggabungkan “Life Skills”
Tiongkok mengambil langkah konkret melalui kurikulum keterampilan hidup atau life skills. Sejak 2022, siswa dari tingkat TK, SD, hingga sekolah menengah diwajibkan belajar memasak, membersihkan, serta berkebun. Langkah ini bukan hanya simbolik, tetapi kebijakan resmi yang diterapkan di seluruh wilayah.
Di kelas 1–2 SD, anak-anak diperkenalkan pada aktivitas dasar seperti mencuci sayuran dan mengenal peralatan dapur sederhana. Pada tingkat kelas 3–4, siswa mulai belajar memasak makanan mudah misalnya merebus telur atau membuat salad sederhana. Memasuki kelas 5–6, keterampilan meningkat: siswa diperkenalkan pada teknik memasak yang sedikit lebih kompleks.
Selain memasak, keterampilan berkebun juga diberikan. Anak-anak diajak menanam benih, merawat tanaman, hingga memahami bagaimana tanaman tumbuh dan dipanen. Di tingkat TK, beberapa sekolah bahkan melakukan pembelajaran “menanam mini”, seperti menanam sayur di polybag atau melihat perkecambahan kacang hijau.
Pemerintah Tiongkok menekankan tujuan dari kurikulum ini: membentuk kemandirian, tanggung jawab, dan kemampuan hidup sehari-hari sekaligus membangun hubungan sehat antara anak dan alam. Anak yang terbiasa merawat tanaman akan lebih mudah memahami siklus hidup, proses alam, serta pentingnya menghargai makanan yang mereka konsumsi.
Pendekatan seperti ini dapat menjadi model pendidikan holistik yang tidak hanya fokus pada akademik, tetapi juga karakter dan keterampilan praktis.
Penghijauan Besar-Besaran dan Dampaknya terhadap Lingkungan
Gerakan menanam di Tiongkok bukan sekadar kampanye hijau. Data tahun 2024 menunjukkan bahwa negara tersebut menanam hampir 4,45 juta hektare hutan baru. Angka itu meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Upaya ini melibatkan pejabat, masyarakat umum, hingga pelajar.
Termasuk di dalamnya adalah pemulihan padang rumput, rehabilitasi lahan kering, dan penanaman pohon di wilayah yang sebelumnya mengalami erosi parah. Pemimpin negara bahkan rutin mengikuti kegiatan penanaman sebagai simbol komitmen dan untuk mengajak masyarakat menjaga lingkungan.
Artikel Terkait
Cerita Pilu Ferry Irwandi saat Tembus Daerah Terisolir di Bencana Sumatera lewat Jalur Darat hingga Udara
Kisah Desa Sekumur di Aceh Tamiang: Tersapu Banjir Bandang, Tersisa Masjid dan Gelondongan Kayu di Sekitarnya
Satgas Pengamanan TNI AU di Bandara Khusus Weda Bay Berhasil Amankan 9 Paket Sampel Nikel Dangerous Goods dari Penumpang
PKM Seminar Parenting IAI jamiat Kheir: Bangun Ketangguhan Mental anak di Era Digital
Momen Prabowo Makan Masakan Warga Pengungsi Saat Cek Dapur di Aceh, Pastikan Gizi Dan Kelayakan