Oleh : Novita sari yahya
Pendahuluan
Berita yang diterbitkan media mengenai hilangnya hutan di Sumatera dengan luas setara 139 lapangan sepak bola setiap hari merupakan kabar yang mengagetkan sekaligus menyedihkan. Informasi tersebut tidak hanya menyajikan data statistik, tetapi juga membuka mata publik tentang akar persoalan mengapa bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, terus berulang di wilayah Sumatera. Bencana tersebut bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan akibat dari proses panjang perusakan lingkungan yang dilakukan secara sadar dan masif.
Kerusakan hutan di Sumatera memperlihatkan adanya krisis cara berpikir manusia dalam memandang alam. Hutan tidak lagi ditempatkan sebagai sistem kehidupan yang harus dijaga, melainkan sebagai objek eksploitasi demi keuntungan ekonomi jangka pendek. Dalam konteks inilah, gaya hidup materialistis dan hedonis menjadi faktor penting yang mendorong perusakan ekosistem secara sistematis.
Deforestasi Sumatera dan Bencana yang Berulang
Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan hutan hujan tropis terluas di Indonesia. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, laju deforestasi di pulau ini berlangsung sangat cepat. Berdasarkan laporan Kompas, hutan di Sumatera terus menyusut akibat pembalakan liar, alih fungsi lahan menjadi perkebunan, serta eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Hilangnya hutan dalam skala besar berdampak langsung terhadap meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana alam.
Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda berbagai daerah di Sumatera dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari rusaknya penyangga alami lingkungan. Akar pepohonan yang seharusnya menahan tanah dan menyerap air hujan tidak lagi ada. Akibatnya, air hujan mengalir bebas ke permukaan, membawa tanah, batu, dan material lain yang akhirnya menghancurkan permukiman warga.
Kondisi ini menunjukkan bahwa bencana alam di Sumatera bukan semata-mata faktor alam, melainkan hasil dari pilihan manusia yang mengabaikan keseimbangan lingkungan. Ketika hutan ditebang tanpa perhitungan ekologis, maka risiko bencana menjadi harga yang harus dibayar oleh masyarakat secara luas.
Keanekaragaman Hayati Indonesia yang Terancam
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Berdasarkan berbagai kajian ilmiah, Indonesia memiliki sekitar 17 persen dari total spesies dunia, meskipun hanya menempati sekitar 1,3 persen luas daratan bumi. Tercatat lebih dari 25.000 jenis tumbuhan berbunga, sekitar 515 spesies mamalia, 1.500 lebih spesies burung, serta ribuan jenis reptil, amfibi, dan serangga.
Hutan Indonesia, khususnya di Sumatera, merupakan habitat bagi spesies endemik seperti Harimau Sumatra, Orangutan Sumatra, Badak Sumatra, dan Gajah Sumatra. Sayangnya, penebangan hutan dan fragmentasi habitat telah menyebabkan populasi satwa-satwa tersebut terus menurun. Beberapa di antaranya bahkan berada di ambang kepunahan.
Penebangan hutan tidak hanya menghilangkan pohon, tetapi juga memutus rantai kehidupan. Ketika habitat rusak, satwa liar kehilangan ruang hidup dan sumber makanan. Banyak spesies yang akhirnya mati, berpindah ke permukiman manusia, atau punah secara perlahan tanpa disadari. Kepunahan ini bersifat permanen dan tidak dapat dikembalikan.
Hutan dan Fungsi Ekologis yang Diabaikan
Hutan memiliki fungsi ekologis yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Pepohonan berperan sebagai penyerap karbon dioksida dan penghasil oksigen. Selain itu, hutan berfungsi sebagai pengatur tata air, penjaga kesuburan tanah, serta penahan erosi dan longsor.
Artikel Terkait
Pengamat: Perpol Kapolri tak Langgar Keputusan MK dan sudah Dilaporkan ke Presiden, Tuduhan Pembangkangan Tidak Berdasar
Jalan dan Jembatan di Aceh Mulai Kembali Berfungsi, Prabowo Apresiasi Petugas
Prabowo Apresiasi Gotong-royong Semua Pihak Hadapi Bencana: Tak Boleh Ada Satu Saudara Pun Ditinggalkan
Tegas! Prabowo Siap Tindak Pembalakan Liar
TNI–Polri Jadi Garda Terdepan, Prabowo Pastikan Penanganan Bencana Dipercepat