Oleh : Siti Humairah
Layar gadget tampak seperti "teman setia" balita di banyak rumah Indonesia saat ini. Sementara ayah dan ibu sibuk dengan pekerjaan mereka atau rutinitas rumah tangga, anak kecil duduk manis di sofa, matanya terpaku pada ponsel. Perangkat yang dulu dipandang sebagai alat edukasi dan hiburan ringan itu perlahan menjelma menjadi semacam penenang darurat, solusi cepat setiap kali anak rewel. Praktis? Tentu saja. Namun di balik kemudahan tersebut, tersembunyi ancaman yang tidak kecil yaitu perkembangan bahasa anak yang bisa terganggu tanpa disadari.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah lama menegaskan bahwa anak di bawah usia dua tahun sebaiknya tidak terpapar layar sama sekali, sedangkan anak usia 2–5 tahun dibatasi maksimal satu jam sehari dengan pendampingan orang tua. Namun kenyataan di lapangan berbeda jauh. Banyak anak yang terpapar layar selama 3–5 jam setiap hari, bahkan ada yang diberi ponsel sejak bangun tidur hingga menjelang tidur kembali. Ironisnya, semua berlangsung tanpa pengawasan kualitas konten maupun interaksi.
Gadget tampak seperti solusi instan bagi orang tua yang menghadapi tekanan pekerjaan dan kesibukan. Anak itu langsung diam setelah satu klik pada video kartun. Namun, setiap jam tambahan yang dihabiskan anak untuk menatap layar berarti mereka kehilangan kesempatan untuk berinteraksi, yang merupakan komponen penting dalam proses pemerolehan bahasa.
Baca Juga: Bahasa Gaul Generasi Z : Kreativitas Linguistik atau Kemunduran Bahasa?
Dari perspektif psikolinguistik, bahasa tidak hanya terbentuk dari mendengar suara atau melihat gambar. Anak membutuhkan interaksi langsung, percakapan dua arah, dan serve-and-return antara orang dewasa dan anak. Kontak mata, nada suara, penyesuaian intonasi, ekspresi wajah, dan jeda adalah semua aspek interaksi ini yang memungkinkan anak merespons. Semua komponen ini tidak bisa diberikan oleh layar yang sifatnya satu arah.
Berbagai ruang kelas PAUD dan klinik tumbuh kembang telah melihat hasilnya. BAhwa keterlambatan bicara telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Banyak anak menyebutkan kata, tetapi tidak memahami artinya. Selain itu, ada orang yang menggunakan echolalia digital, yaitu mengulang-ulang percakapan yang diambil dari video. Mereka menggunakan bahasa yang fasih, tetapi mereka tidak memahaminya. Ini menunjukkan bahwa mereka lebih suka meniru daripada memaknai.
Kemampuan fokus terpengaruh oleh konten digital yang bergerak cepat. Anak-anak terbiasa dengan ritme visual yang cepat, jadi ketika mereka menghadapi percakapan nyata yang lebih lama, mereka cepat bosan dan kehilangan fokus. Salah satu alasan mengapa anak-anak tampak tidak merespons ketika diajak bicara adalah bukan karena tidak mengerti, tetapi karena otaknya terlatih untuk mencari rangsangan yang lebih cepat dari layar.
Sayangnya, banyak orang tua percaya bahwa tontonan edukatif dapat menggantikan interaksi. Padahal penelitian berulang kali menunjukkan bahwa video edukatif tidak bisa menggantikan peran orang dewasa dalam membangun bahasa. Anak-anak menonton secara pasif jika mereka tidak dibantu. Tidak ada tantangan untuk bertanya, menjawab, atau menafsirkannya. Anak tidak memiliki kesempatan untuk berunding.
Justru, kualitas interaksi sederhana seperti membacakan buku, bermain peran, atau bercakap tentang benda yang ada di sekitar, jauh lebih efektif dalam membangun bahasa. Melalui aktivitas ini, anak belajar memahami konteks, menghubungkan kata dengan pengalaman nyata, dan mempelajari bagaimana cara bergiliran dalam percakapan.
Namun bukan berarti teknologi harus dijauhkan sepenuhnya. Gadget tetap bisa menjadi media pembelajaran, selama orang tua mengatur, mendampingi, dan membatasi penggunaannya. Literasi digital dalam keluarga menjadi kunci agar screen time tidak merusak perkembangan bahasa anak.
Ada beberapa langkah praktis yang dapat diterapkan:
Pertama, tetapkan batas screen time sesuai usia dan terapkan secara konsisten. Orang tua harus menjadi teladan; tidak mungkin anak mengurangi penggunaan layar jika orang tua setiap saat memegang gadget.
Kedua, pilih konten yang berkualitas. Utamakan tayangan yang bersifat interaktif atau mendorong anak berpikir, bukan konten pasif yang hanya menghibur tanpa stimulasi bahasa.
Artikel Terkait
Menulis sebagai Jalan Ingatan, Literasi, dan Pemulihan Bangsa
Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya
"Jujurr" "Bhaap" dan "FR": Bahasa Gen Z, Media Sosial, dan Cara Kita Memaknai Perubahan
Ini dia, 3 Narasumber Pelatihan Literasi Santri di Pesantren dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia yang Paling di Rekomendasikan
UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan