Refleksi Lima Belas Tahun atas Jamkesda, BPJS Kesehatan, dan Tantangan Keadilan Sosial di Indonesia
Oleh: dr. Novita Sari Yahya
Pendahuluan
Kemiskinan dan kesehatan merupakan dua persoalan mendasar dalam pembangunan manusia yang tidak pernah benar-benar terpisah. Kemiskinan menciptakan kerentanan kesehatan, sementara kesehatan yang buruk mempersempit peluang hidup dan memperdalam kemiskinan. Hubungan timbal balik ini membentuk lingkaran ketidakadilan yang sulit diputus apabila negara tidak hadir secara aktif dan sistemik.
Di Indonesia, relasi kemiskinan dan kesehatan telah lama menjadi isu kebijakan publik. Berbagai program diluncurkan, mulai dari jaminan kesehatan berbasis daerah hingga sistem jaminan kesehatan nasional. Namun, hingga kini, perdebatan mengenai siapa yang disebut miskin, siapa yang berhak dilindungi, dan sejauh mana negara bertanggung jawab, masih terus berlangsung.
Tulisan ini merupakan refleksi intelektual selama lebih dari lima belas tahun, dimulai dari kritik terhadap kemiskinan absolut pada akhir dekade 2000-an, berlanjut pada kajian perlunya revisi Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) pada tahun 2010, hingga evaluasi atas pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan serta tantangan kesehatan ibu yang masih dihadapi Indonesia hingga 2024–2025. Refleksi ini diletakkan dalam kerangka konstitusi, keadilan sosial, dan kewajiban negara terhadap hak dasar warga negara.
Kemiskinan Absolut dan Mandat Konstitusi
Pada tahun 2009 saya menulis sebuah esai yang menyatakan bahwa kemiskinan absolut merupakan bentuk kegagalan negara dalam memenuhi hak dasar rakyat. Kegelisahan tersebut muncul dari cara kemiskinan sering dipersempit menjadi persoalan individu, seolah-olah kemiskinan adalah akibat kemalasan atau pilihan personal. Dalam kerangka berpikir ini, negara hadir sebatas pemberi bantuan, bukan sebagai penjamin hak.
Padahal, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Dalam perspektif konstitusional dan hak asasi manusia, kemiskinan absolut bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan persoalan keadilan. Ketika negara membiarkan sebagian warganya hidup tanpa akses terhadap pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan yang layak, maka mandat konstitusi belum sepenuhnya dijalankan.
Kesehatan sebagai Lensa Membaca Kemiskinan
Kesadaran inilah yang membawa saya pada kajian kebijakan kesehatan pada tahun 2010 dengan fokus pada perlunya revisi Jamkesda dalam rangka pembangunan kesehatan yang adil dan merata. Sektor kesehatan menjadi pintu masuk yang konkret untuk membaca kemiskinan, karena di situlah ketimpangan sosial paling nyata terlihat.
Bagi masyarakat miskin, sakit bukan sekadar persoalan medis. Sakit berarti kehilangan penghasilan, bertambahnya beban keluarga, dan sering kali berujung pada utang atau penjualan aset produktif. Hambatan geografis, keterbatasan transportasi, kurangnya tenaga kesehatan, serta biaya pengobatan yang tinggi membuat layanan kesehatan menjadi barang mahal bagi kelompok rentan.
Dalam konteks ini, kebijakan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan kemiskinan. Kesehatan adalah faktor penentu apakah seseorang dapat mempertahankan kehidupannya secara bermartabat atau justru terperosok lebih dalam ke jurang kemiskinan.
Jamkesda dan Keterbatasan Pendekatan Daerah
Artikel Terkait
Tinggalkan Lokasi Bencana di Aceh Tamiang, Influencer Vilmei Terisak hingga Dikuatkan Warga: Jangan Nangis, Kami Bahagia
Durian Melimpah di Masa Panen, Petani di Tapanuli Tengah Berjibaku dengan Sulitnya Akses Jalan Demi Bisa Jualan
Arie Untung Turun Beri Bantuan di Aceh Tamiang, Tak Sengaja Bertemu Pasangan yang Sedang Gelar Pernikahan
Harumkan Nama Bangsa: Rafiq Wijdan Yasir, Atlet Dayung Pantang Menyerah Peraih Emas SEA Games 2025
Kepala BPJPH Serahkan Bantuan Kemanusiaan BPJPH Peduli di Aceh Rp500 Juta