Setiap daerah yang memiliki kawasan hulu perlu melakukan pemantauan berkala menggunakan drone. Drone dapat mendeteksi pembukaan lahan ilegal, retakan tanah, dan longsor kecil yang berpotensi membesar. Data drone harus dicocokkan dengan citra satelit untuk memastikan keakuratannya.
b. Penataan Sempadan Sungai
Pemerintah daerah perlu segera menertibkan bangunan di sepanjang sempadan sungai yang melanggar aturan. Sempadan sungai yang hilang menjadi salah satu penyebab aliran air tidak terkendali pada saat hujan lebat. Penataan ulang ini harus disertai relokasi warga dengan pendekatan kemanusiaan.
c. Edukasi dan Pelatihan Kebencanaan di Tingkat Desa
Masyarakat yang tinggal di area rawan harus mendapatkan pelatihan mengenai tanda-tanda bencana, jalur evakuasi, dan cara merespons peringatan dini. Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan BPBD, TNI, dan relawan untuk menyusun SOP kebencanaan di setiap desa. Integrasi teknologi seperti aplikasi peringatan dini juga dapat membantu warga memahami situasi aktual.
d. Rehabilitasi Lahan Terdegradasi
Kabupaten dan kota harus melakukan inventarisasi lahan kritis yang perlu direhabilitasi, terutama wilayah yang menjadi sumber banjir bandang. Rehabilitasi ini harus dilakukan dengan pendekatan berbasis ekosistem, yaitu memilih jenis tanaman lokal yang mampu menjaga stabilitas tanah serta menyerap air dengan baik.
e. Pemanfaatan Data Teknis dalam Perizinan
Pemda harus mewajibkan analisis spasial berbasis GIS pada setiap permohonan izin usaha. Dengan demikian, izin tidak diberikan secara sembarangan. Pemda juga perlu menolak izin yang berpotensi merusak lingkungan atau berada pada kawasan rawan bencana.
4. Integrasi Peran Pemerintah dan Teknologi untuk Pemulihan Menyeluruh
Langkah strategis di atas akan efektif jika dilakukan secara terpadu. Pemerintah pusat menyediakan regulasi dan pendanaan. Pemprov menyusun peta kawasan kritis dan mengatur tata ruang. Pemkab/pemko menjalankan pengawasan lapangan dan pemulihan vegetasi. Semua proses harus menggunakan teknologi pemetaan yang akurat agar kebijakan tidak hanya berdasarkan asumsi, tetapi benar-benar mencerminkan kondisi lingkungan.
Citra satelit berfungsi untuk memantau perubahan kawasan secara luas. GIS mengolah data tersebut menjadi peta analisis yang digunakan pemerintah dalam menyusun kebijakan. Drone memverifikasi temuan lapangan, sedangkan machine learning memberikan prediksi mengenai risiko bencana. Sensor IoT menjadi alat pemantauan yang bekerja 24 jam tanpa henti. Dengan integrasi kelima teknologi tersebut, Sumatera Barat dapat memiliki sistem mitigasi dan pemulihan lingkungan yang jauh lebih kuat, terutama setelah peristiwa banjir bandang 2025.
Daftar Pustaka
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). (2024). Sistem Informasi Pemantauan Cuaca dan Hidrologi. Informasi terkini dan data pemantauan dapat diakses melalui situs resmi BMKG.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2024). InaRISK: Sistem Informasi Risiko Bencana Indonesia. Platform ini tersedia di portal InaRISK BNPB.
Artikel Terkait
Budaya Menanam, Pendidikan, dan Kelestarian Lingkungan: Sebuah Pemikiran
Gemerlap Panggung, Jejak Gelap, dan Pentingnya Kesadaran Moral
1ST Nika Fun Relay Swimming Championships Para Master Swimmers Menjadi Inspirasi Kawula Muda Untuk Rajin Berolahraga
Dengungkan Kebaikan, BRI Kanca Cimanggis Salurkan Bantuan kepada Dhuafa dan Anak Yatim
PTPN IV Perkuat Pemulihan Warga Lima Puluh Kota Bantuan Gelombang Kedua