berita

Dakwah Ormas, Pemecah Belah?

Senin, 15 November 2021 | 21:20 WIB
Wakil Ketua Umum PP Persatuan Islam (PERSIS) Dr. Jeje Zaenudin - Foto: Henry Lukmanul Hakim.

 

Oleh: Wakil Ketua Umum PP Persatuan Islam (PERSIS) Dr. Jeje Zaenudin

Di antara karakteristik gerakan dakwah Islam di Indonesia pada awal abad ke duapuluh atau tahun 1900 an adalah bangkitnya gerakan dakwah yang terorganisir yang ditandai dengan berdirinya tandzhim, jam’iyah, muassasah, atau lembaga-lembaga dakwah. Meskipun hal itu merupakan fenomena umum yang terjadi di negeri-negeri muslim yang berada dalam kolonialisasi bangsa Barat, baik di Asia, Afrika, maupun anak benua India, tetapi kebangkitan gerakan dakwah Islam melalui gerakan ormas di Indonesia memiliki karakteristik yang istimewa. 

Tidak mengherankan jika figur-figur ulama besar dan du’at yang sangat berpengaruh dalam pergerakan dakwah Islam Indonesia pada awal abad dua puluh tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan dakwah melalui organisasi-organisasi masa (Ormas) sebagai wadah perjuangannya. Seperti kebesaran HOS Cokro Aminoto yang identik dengan Sayarikat Islam, Syekh Ahmad Surkati dari Al Irsyad, Syekh Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, Syekh Ahmad Hassan dari Persatuan Islam (PERSIS), Syekh Hasyim As’ary dari Nahdhatul Ulama, Syekh Abdul Halim dari PUI, dan sederet ulama-ulama besar lainnya yang lahir seiring dengan kebangkitan gerakan dakwah dan perjuangan nasional melalui Ormas.

Ada banyak faktor pendorong bangkitnya dakwah Islam di Nusantara melalui gerakan Ormas yang penulis amati:

Pertama. Hilangnya kepemimpin formal Islam setelah kerajaan-kerajaan Islam di seluruh nusantara dilumpuhkan dan kekuasaan mereka diambil alih oleh pemerintah penjajah Belanda. Rakyat dan masyarakat Islam memberdayakan diri mereka sendiri dipimpin oleh para ulama, kiyai, dan guru ngaji setempat.

Baca Juga: Dari AICIS 2021: Menimbang Ajakan “Rekontekstualisasi” Fikih Islam ala Menag Yaqut

Kedua. Perjuangan melalui perlawanan fisik dan persenjataan secara sporadis. Local, dan terpecah-pecah terbukti mengalami kekalahan demi kekalahan karena ketidak seimbangan persenjataan dan kemampuan tempur, selain memang kecerdikan Belanda dalam mengadu domba kekuatan pribumi.

Ketiga. Umat Islam berada dalam kondisi yang benar-benar terpinggirkan dalam segala aspek kehidupan. Keinginan untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas sumberdaya umat tidak mungkin dilakukan orang perorang tetapi harus melalui gerakan yang terorganisir.

Keempat. Kenyataan bahwa meskipun penduduk Nusantara lebih dari Sembilan puluh persen beragama Islam, akan tetapi mayoritasnya belum memahami dan mengamalkan agama mereka secara benar dan memadai dikarenakan sangat minimnya lembaga pendidikan dan lemahnya gerakan dakwah yang membina mereka disebabkan terbatasnya keberadaan para ulama dan juru dakwah. Sementara di internal para alim ulamanya sendiri sering terjadi silang pendapat karena perbedaan faham dan madzhab Islam yang dianutnya.   

Kelima. Adanya perubahan kebijakan politik pemerintah penjajah Belanda terhadap pergerakan kaum pribumi, yaitu dengan membuka kran kebebasan berkumpul dan berserikat bagi rakyat jajahan untuk memajukan diri. Maka peluang ini dimanfaatkan dengan baik oleh para tokoh pejuang Islam untuk membangun wadah perjuangan berbasis masa dan berasaskan ideologi Islam.

Baca Juga: Haedar Nashir Berikan 3 Pesan Hal Mendasar Tentang Islam Bagi Warga Muhammadiyah

Keenam. Fakta saat itu menunjukkan bahwa dakwah Islamiyah tidak cukup dilakukan secara fardiyah atau individual dengan mengandalkan kemampuan ilmu dan kharisma pribadi para ulama dan da’i saja. Sebab umat bukan hanya membutuhkan siraman ilmu dan fatwa agama semata, tetapi membutuhkan kepemimpinan yang menggerakan mereka kepada kemaslahatan hidup bersama di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, hingga kekuatan politik untuk melawan penjajahan.

Akumulasi faktor-faktor di atas nampaknya membangunkan kesadaran yang sama pada jiwa tokoh-tokoh masyarakat muslim Nusantara saat itu setidaknya pada dua hal pokok, yaitu : pertama, lahirnya kesadaran umum bahwa mereka adalah umat yang satu yaitu sebagai umat Islam meskipun berbeda-beda pulau, beda suku, bahasa, budaya, maupun perbedaan kesultanan atau kerajaan; kedua, lahirnya kesadaran bahwa mereka adalah bangsa yang satu nasib sebagai bangsa terjajah yang ratusan tahun hidup dalam cengkraman kaum kafir Belanda.

Halaman:

Tags

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB