Jeje khawatir sangat rawan dan berpotensi dijadikan stigmatisasi kepada pihak-pihak yang tidak disukai, hanya karena berbeda dengan kelompok mainstream dalam beberapa aspek pemahaman dan pengamalan ajaran Islam.
“Padahal, bisa jadi paham itu sejatinya berbasis dalil Al-Qur’an dan Hadits serta diwarisi dari mazhab-mazhab rujukan generasi awal Islam, yang telah terbukti kebenaran dan kesalehan mereka,” terangnya.
Baca Juga: Kemenkes Tambah 3 Jenis Vaksin Imunisasi Rutin, Salah Satunya HPV
Dengan adanya pesan seperti itu, paham keagamaan Islam (maupun agama lain di luar Islam) akan berbahaya, manakala telah menyimpang dari doktrin-doktrin dasar yang telah menjadi konsensus para pemimpin agamanya di sepanjang zaman.
“Apalagi jika sudah masuk pemikiran-pemikiran ekstrim yang mengarahkan kepada permusuhan, perpecahan, dan peperangan,” jelasnya.
Waketum Persatuan Islam juga mempertanyakan, apakah dalam kelompok yang dituduh wahabi, atau kelompok yang mengeklaim salafi itu ada dogma dan doktrin yang menyimpang dari ijma', dan menyerukan ekstrimisme atau terorisme?
"Tentu saja susah membuktikannya," jawab Jeje.
Selain dalam kelompok yang disebut Wahabi atau kelompok yang mengklaim salafi itu banyak varian dan sub kompoknya, juga kecenderungan sikap ekstrim itu selalu ada pada tiap kelompok paham.
Ia melanjutkan, sebagian pengamat ada yang berpendapat bahwa bahaya paham Wahabi salafi itu dengan mencontohkan perpecahan dan perang saudara di Iraq, Suriah, Yaman, Libiya, dan sebagainya. Konon itu dipicu oleh gerakan wahabi salafi. Demikian pula munculnya kelompok Al-Qaidah, ISIS, dan lainnya, disebut- sebut bermula dari paham wahabi dan salafi.
“Akan tetapi, semua tuduhan itu terlalu terburu buru bahkan simplistis, bahkan terkesan mengikuti framing media Barat. Ada banyak faktor yang diabaikan, dan ada faham khowarij yang lebih bertanggungjawab terhadap doktrin trologi takfiri daripada sahabi-Salafi,” tuturnya.
Baca Juga: Dampngi Presiden Jokowi di Pasar Bogor, Bima Arya Sampaikan Rencana Revitalisasi Pasar Bogor
Jeje menilai, dengan ada pesan seperti itu, justru bisa menjadi kesalahfahaman masyarakat dalam menyikapi perbedaan menjadi cara-cara tindakan persekusi pada kelompok tertentu.
“Menurut hemat saya, yang harus dibangun adalah bagaimana bisa saling memahami dan saling mengerti melalui dialog yang objek dan ilmiah, dengan semangat ukhuwah dan ilmiah untuk bisa bekerja sama dan saling menguatkan,” pesannya.
"Kemudian, menyingkirkan pemahaman yang absolutisme dan klaim kebenaran mutlak sepihak pada masalah-masalah ijtihadiah," paparnya.