Menurutnya, sebagian besar kasus pelecehan justru terjadi di klinik, bukan di rumah sakit.
"Untuk di RS tidak terlalu banyak kasus kepada pasien," ujarnya.
Namun berbeda dengan di klinik. Di sana, menurut pengakuannya, hampir seluruh pasien menjadi korban pelecehan.
"Hampir semua pasien," tambahnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Iril memiliki pola dalam memilih korban. Perempuan hamil di trimester kedua dan ketiga menjadi target utama.
"Terutama yang hamil trimester 2 dan 3. Karena kalau trimester 1 tidak akan ada kesempatan untuk tangan ke arah atas perut dekat dada," ujarnya menjelaskan.
Modusnya pun nyaris selalu sama: membangun kedekatan lewat media sosial dan pesan pribadi.
Diawali dengan obrolan ringan, sang dokter akan berusaha menarik perhatian para pasien.
"Dia akan chat pasien diawali dengan basa-basi nanya tempat di Garut wisata dan kuliner. Lama kelamaan dia akan reply semua update pasien, chat gak jelas dan merayu pasien menawarkan USG gratis," ungkapnya.
Jika pasien menanggapi, maka jebakan pun dimulai.
Mereka diminta datang di jam praktik terakhir dengan syarat tidak mendaftar seperti biasa.
"Pasien yang masuk perangkap akan disuruh datang ke klinik di jam terakhir. Dengan larangan daftar dan harus bilang sudah ada janji dengan dia kepada asisten," jelasnya.
Sementara itu, para asisten atau staf yang seharusnya mendampingi justru disuruh pulang lebih dulu.
"Kita bukan tidak mendampingi tapi kita selalu disuruh pulang dan tidak boleh masuk," katanya.
Kesaksian mantan asisten ini membuka mata publik bahwa pola pelecehan tersebut telah berlangsung cukup lama dan terstruktur.