Oleh: Muhammad Yaminn (Direktur LBH PP PERSIS)
Pemerintah Presiden Jokowi tidak henti-hentinya menghasilkan kebijakan yang kontroversial. Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 3 September 2021, pemerintah melalui Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No. 30 tahun 2021 tentang "Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi." Kebijakan yang diemban melalui peraturan ini nampak baik dan awalnya diapresiasi dengan baik oleh banyak pihak karena terlihat mulia, sebagai respons pemerintah terhadap adanya berbagai kasus kekerasan seksual di masyarakat.
Akan tetapi, setelah diteliti secara mendalam, terdapat kejanggalan dalam penerbitan kebijakan ini. Beberapa poin yang terdapat dalam peraturan ini tampak jelas hanya merupakan tindak lanjut dari draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang sebelumnya sudah mendapat penolakan dari masyarakat luas.
Persoalan substansial dalam Permen ini seperti juga yang ada dalam RUU PKS, adalah adanya kecenderungan kuat ke arah liberalisme dan kebebasan individual dengan mengabaikan nilai moral dan landasan keagamaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Salah satu poin yang terkandung dalam pasal (5) Permen ini misalnya menyebutkan, “akan dilakukan penindakan bila terdapat unsur pemaksaan dan unsur kekerasan dalam melakukan perbuatan seksual.” Dengan demikian, bila perbuatan seksual dilakukan dengan persetujuan (suka sama suka) dari masing-masing pelaku, mesti tanpa ikatan pernikahan, akan dianggap sah dan tidak ada konsekuensi apa pun bagi para pelaku.
Baca Juga: Hadiri Ijtima’ Ulama, Sekum PERSIS Sebut Keterlibatan PERSIS Pada Ijtima' Ulama Cukup Signifikan
Terdapat banyak pasal-pasal dan poin dalam beleid ini yang menyertakan unsur “persetujan” dalam perbuatan seksual, meski tanpa ikatan pernikahan. Pasal (5) huruf (j) menyebutkan, “membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.” Dari rumusan ini bisa disimpulkan, bahwa transaksi atau kegiatan seksual itu boleh dilakukan bila berbasiskan persetujuan, meski tanpa adanya pernikahan.
Lebih jauh, Pasal (3) huruf (e) beleid ini juga menyatakan adanya prinsip keadilan dan kesetaraan gender, kesamaan hak dan kesetaraan …, yang bisa memberi ruang praktik-praktik kebebasan penyimpangan seksual di kalangan LGBT. Sebab, perlindungan kekerasan seksual dengan berbasis persetujuan itu tidak secara tegas memaparkan soal perilaku seks menyimpang (seks sesama jenis), tetapi hanya menjelaskan perlindungan, penindakan, dan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Sangat disayangkan bahwa satu peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan terkait kekerasan seksual, justru sama sekali tidak memasukkan landasan norma agama di dalam prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Dalam beleid ini, sama sekali tidak disinggung adanya rumusan pencegahan dan penindakan perbuatan seks bebas (perzinaan), yang ada hanya berkaitan dengan perbuatan kekerasan seksual.
Baca Juga: Tutup Ijtima’ Ulama, Menag Yaqut Sebut Ulama Pegang Peran Penting Dalam Pembangunan Nasional
Dengan mencermati rumusan serta poin-poin yang ada, Permen Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ini memberi ruang bagi berkembangnya perilaku seks bebas dan seolah melegalkan perzinaan. Kemudian, dengan melihat prinsip liberalisme dan kebebasan indivual yang ada didalamnya, Permendikbudikti No. 30/2021 ini akan menjadi pintu masuk untuk terfasilitasinya perilaku penyimpangan seksual (LGBT: Lesbian, gay, biseksual dan transgender). Kondisi ini jelas bertentangan dengan norma dan nilai-nilai agama, Pancasila, serta adat dan norma sosial yang ada di Indonesia.
Semua agama yang diakui di Indonesia dengan tegas melarang keras perbuatan zina. Dalam Islam semua bentuk perzinaan dilarang keras dan haram hukumnya, pezina yang telah memenuhi syarat empat saksi menerima sanksi hukum yang berat. Pezina muhsan, dihukum mati dengan cara rajam. Pezina ghairu muhsan dicambuk 100 kali.
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman." (QS An-Nur: 2).
Baca Juga: 12 Poin Bahasan Disepakati Pada Ijtima’ Ulama ke-VII Komisi Fatwa MUI
"Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (68) (Yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina." (QS Al-Furqan: 68-69).