Tetapi, wacana ini tak berdiri sendiri. Prof. Wildan dengan santun memangkas tulisannya, “Akhirnya, tentu di tangan muktamirinlah, masa depan Persis berada”. Kata Prof. Wildan lagi, “Siapapun yang terpilih, akan mengemban amanah dan tanggung jawab…”.(idem). Seorang demokrat yang tulus.
Pegiat Grup WA Majelis Mubahatsah yang lain, Muhamamd Nurdin, protes pula atas perubahan nomor urut PROF. DR. H. ATIF LATIFUL HAYAT, SH, LLM, PHD, dari nomor urut 3 jadi nomor urut 4. Bunyi WA-nya, “Prof. Atif asal na urutan katilu di robih jadi ke 4 teu beres pisan”. Nomor urut bermasalah? Mungkin tidak, tetapi berpengaruh.
Baca Juga: Karyawan Mall dan Hotel Yogyakarta di PHK
Alhasil, keempat calon ketua umum yang dipajang di flyer elektonik itu, dan beredar luas di media sosial khususnya, menunjukkan adanya freedom of opinion (kebebasan berpendapat) dan freedom of expression (kebebasan mengungkapkan pikiran dan perasaan) di lingkungan PERSIS. Panitia tak melarang, hanya menegaskan, flyer bukan dari Panitia. Di grup WA kita, tak ada flyer hinaan atau hujatan, seperti banyak flyer di ibu kota sana, saat aksi demonstarsi kenaikan harga BBM - yang kemudian disebut black September.
Lalu, normalkah kalau para ulama yang rendah hati itu mau diserahi amanah jadi ketua umum? Termasuk Prof. Wildan, in syaa Allah, mau, dan normal. Perkara yang tak normal, kalau di antara para ulama calon ketua umum itu ada yang mau jadi rasulullah. (Dean Al-Gamereau. Anggota PERSIS, warga negara biasa, yang sudah terbiasa dengan keadaan biasa-biasa saja, tinggal di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten).