Ini Senandung Muktamar XVI PERSIS: Berlian Hutauruk dan Matahari dalam Rimba Kabut Pagi

photo author
- Kamis, 1 September 2022 | 07:53 WIB
[Ilustrasi] Devile santri membawa bendera Persatuan Islam dan Badan Otonom di Grand Launching dan Silaturahmi Akbar Persatuan Islam di Stadion Jalak Harupat - Foto: Henry Lukmanul Hakim
[Ilustrasi] Devile santri membawa bendera Persatuan Islam dan Badan Otonom di Grand Launching dan Silaturahmi Akbar Persatuan Islam di Stadion Jalak Harupat - Foto: Henry Lukmanul Hakim

Oleh : Dean Al-Gamereau

Mengapa Orchestra Harmonic Music  memilih Senandung “Matahari” dalam salah satu penampilannya, pada “Grand Launching Muktamar XVI Persatuan Islam (PERSIS) dan  Silatbar”, di  Stadion si Jalak Harupat, 27 Agustus 2022? Tampaknya, Orchestra tahu persis,  senandung “Matahari”, yang kali pertama dinyanyikan Berlian Hutauruk itu (1977) ,  tetap   enak di telinga,  dan bermakna. Lebih dari itu, tampaknya lagi, Orchestra ingin memperdengarkan lagu karya Erros Djarot ini  kepada 40.000-an pengunjung tentang peralihan dari sebuah musim ke sebuah musim berikutnya dalam siklus peredaran matahari.

Percayakah, “Matahari” ini sebetulnya Senandung  muktamar XVI Persatuan Islam  (PERSIS) tentang peralihan dari satu musim masa jihad ke musim masa jihad berikutnya,  dalam wadah ormas yang juga berlambang seperti matahari bersinar itu? Qaidah Dakhili Persatuan Islam (PERSIS) memang tak pernah menyebut lambang matahari, tetapi kalau lambang Persatuan Islam (PERSIS) seperti matahari, emang

Baca Juga: Seratus Persen Muslim, Seratus Persen Indonesia

Bagaimana memaknai muktamar XVI Persatuan Islam (PERSIS) dari “perspektif”  Senandung “Matahari”? Cobalah simak baris demi baris liriknya, “Musim itu t’lah berlalu”, itu artinya, “Satu musim masa jihad sudah berlalu”.  Lirik berikutnya, “Matahari segera berganti”, artinya lagi, “Muktamar itu pergantian juga, semisalP pergantian generasi atau tasykil”. Siapakah ketua umum PP Persatuan Islam (PERSIS) berikutnya yang mengiringi pergantian musim dan generasi  itu? Senandung “Matahari” mengisyaratkan,  masih gaib,  belum tampak, dibunyikan  dalam sebaris lirik, “Matahari masih dalam rimba kabut pagi”. Apakah ini hasil penelitian ilmiah melalui tafsir teks (Hermeneutika) atau  hasil Analisis Wacana Kritis (ungkapan di balik teks)? Sama sekali bukan, ini sekadar cocokologi! Tak ilmiah, tetapi mungkin ‘aqliyah.

Senandung “Matahari” kemudian, pasca-Berlian Hutauruk, lahir  dari sebuah kolaborasi (produksi, 1999). Erros Djarot sebagai penulis lagu, Yockie Soeryo Prayogo sebagai penata  musik, orchestra Erwin Gutawa, dan Chrismansyah Rahadi atau lebih  dikenal Chrisye  (fet. Aning Katamsi) sebagai penyanyi. Siapa Aning, atau nama lengkapnya Ratna Kusumaningrum itu? Penyanyi seriosa, anak Amoroso Katamsi (pemeran Soeharto dalam film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI”). Aning berhijab  dan berkacamata.

Dari ”Matahari” kita diingatkan, dan bisa di”kait paksa”kan dengan perumpamaan “dapur” rumah dan ruang depan rumah. Chrisye ruang depan rumah itu. Orang-orang yang sangat berperan di “dapur” terdiri dari Erros Djarot, Aning Katamsi,Yockie Soeryo Prayogo, dan Erwin Gutawa. Alhasil, “Matahari” adalah hasil kolaborasi, seakan mengingatkan, harus seperti itulah Persatuan Islam (PERSIS) :  berkolaborasi dengan musim, dengan zaman, dengan keahlian, dalam bingkai satu rasa, satu suara, satu usaha. Senandung “Matahari” tak berdiri sendiri, lahir dari “rahim” kolaborasi itu.

Baca Juga: KAI Daop 1 Jakarta Gandeng TNI Polri Tertibkan Bangunan Liar di Area Gunung Antang

Erros sekolah teknik di Jerman, sekolah film di Inggris, tetapi lelaki kelahiran Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (22 Juli1950) ini lebih banyak berkiprak di musik dan film, lalu jadi wartawan, jadi politisi pula (ketua Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, berubah  jadi Partai Nasional Benteng Kerakyatan : MataharPNBK).

Bagaimana lagu-lagu yang diciptakan Erros  selalu sukses, dan bertahan cukup lama, selalu diingat, seperti “Matahari”, satu dari 13 lagu dalam album  “Badai Pasti Berlalu” itu? Dari berbagai wawancara dan catatan. Erros menyebut lagu harus terlahir karena cinta, datang dari lubuk hati yang terdalam. Erros menerjemahkan cinta ke dalam musik dan menuangkannya ke dalam nada dan lirik. Ini, misalnya,   terlihat  dalam  senandung “Matahari” atau “Badai Pasti  Berlalu”.

Tentang cinta, kata Erros, “…dan negeri ini telah kehilangan yang sangat substansial : cinta”. Maka, hati dan cinta orang harus selalu bergelora, dan dituangkan ke dalam “lirik” dan “nada” dakwah ketika PERSIS memasuki musim matahari abad kedua.  

Baca Juga: Komite Sekolah SMP PCI Dorong Yayasan PCI Agar Segera Miliki Gedung Sekolah SMA, Ini Alasannya

Dalam senandung “Matahari” Chrisye feat Aning itu, ada baris  lirik begini, “Awan yang hitam tenggelam dalam dekapan/Daun yang layu  berguguran di pangkuan”. Memang, “matahari-matahari” PERSIS banyak yang sudah meninggalkan senja. Mereka kembali ke balik legamnya malam, dan berpisah dari pangkuan Persatuan Islam (PERSIS). “Matahari-matahari” pengganti bermunculan, dari rimba kabut pagi, bersinar hangat menerobos daun dan dahan. Sepoi angin lembut  dan burung-burung kecil yang mendendangkan kebebasan mengawali munculnya “matahari-matahari” baru itu. 

Pemungkas, inilah sajak penyair Jerman sepanjang masa, Johan Wolfgang von Goethe tentang matahari, sang surya, dikutip dari sebuah buku karya tokoh PERSIS terdahulu, K.H.M. Isa Anshary, “ Sudah tenggelam sang surya, di Barat ia masih berkilau. Kuingin tahu gerangan berapa lama”.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Henry Lukmanul Hakim

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB
X