“Harus dipahami status guru besar itu diajukan kepada pemerintah, ya, khususnya kementerian. Jadi SK-nya itu keputusannya adalah Kementerian,” jelas Andi.
Namun, Menteri Diktiristek telah memberikan kewenangan sementara kepada universitas untuk menentukan sanksi administratif.
“Oleh karena itu, kami setelah waktu liburan Idulfitri ini, kita akan menetapkan keputusan itu,” tambahnya.
Di tengah proses hukum dan administratif, UGM menempatkan perlindungan terhadap korban sebagai prioritas utama.
“Yang utama adalah bagaimana perlindungan terhadap korban dan juga tindak lanjutnya untuk konseling dan juga pendampingan bagi teman-teman korban,” kata Andi.
Lebih dari sekadar sanksi, universitas fokus pada pemulihan dan pencegahan.
Pihak kampus menyediakan layanan konseling serta pendampingan psikologis bagi para korban.
Ini sejalan dengan semangat membangun kampus yang aman, sehat, dan bebas kekerasan seksual.
UGM juga menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk memperkuat sistem pencegahan kekerasan seksual, termasuk edukasi dan pengawasan terhadap relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa.
“Yang utama sebetulnya kami mencegah ke depan tidak terjadi lagi,” pungkas Andi.
Kasus ini membuka mata banyak pihak bahwa kekerasan seksual bisa terjadi bahkan di ruang-ruang yang dianggap aman dan terhormat.
Komitmen UGM untuk menindak tegas pelaku dan memulihkan korban diharapkan menjadi contoh nyata bagi institusi pendidikan lainnya.
Artikel Terkait
Kapolres Ucapkan Terima Kasih atas Kolaborasi Selama Operasi Ketupat Jaya 2025, Idul Fitri 1446 H
DPN HKTI Dukung Pemerintah Hadapi Tarif Trump
Kecelakaan Mudik Lebaran 2025 Diklaim Menurun, Menhub Minta Pemudik Hati-hati Berkendara Saat Arus Balik
Lanud Husein Sastranegara Gelar Upacara HUT ke-79 TNI AU, Kasau Tekankan Semangat Juang dan Modernisasi Alutsista
Surya Sahetapy Kenang Momen Lucu Ketika Tinggal Bareng dengan Ray Sahetapy, Sering Terkunci dan Tidak Bisa Masuk Apartemen