Melawan Bias Demokrasi dengan Hifzhul Aql

photo author
- Senin, 12 Februari 2024 | 19:05 WIB
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Hima Persis DKI Jakarta - Saba Al Ayubi SH - Foto: Dok Pribadi
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Hima Persis DKI Jakarta - Saba Al Ayubi SH - Foto: Dok Pribadi

Secara etimologi, ‘aql (akal) memiliki makna al-fahm (pemahaman); an-nuhaa (kebijaksanaan); al-hijr (menahan, mengikat, dan menghalangi); dan al-man’u (mecegah) (Ibnu Manzhur, 1994). Abadiy menjelaskan bahwa akal adalah pengetahuan komprehensif mengenai berbagai persoalan serta kekuatan yang dapat membedakan antara baik dan buruk (Abadiy, 2005). Adapun Syahrani menjelaskan akal secara fungsional sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman, sebagai benteng yang dapat menahan seseorang dari perbuatan membahayakan, serta sebagai pencegah dan penahan bagi seseorang dari perbuatan tercela yang menjatuhkan martabat (Syahrani, 2008).

Baca Juga: Etika Memohon Kekuasaan

Akal dalam syariat Islam memiliki kedudukan yang sangat sentral. Perintah untuk menjaga akal dari kerusakkan berkaitan erat dengan fungsinya yang sangat penting. Kita banyak jumpai ayat-ayat dalam al-Qur’an seperti penggalan kalimat la’allakum ta’qilun, la’allakum tatadabarun, la’allakum tatafakkarun, sebagai pesan dari Allah s.w.t. akan pentingnya memfungsikan akal. Bahkan iqra’ sebagai kalimat pertama dalam ayat pertama yang turun kepada nabi Muhammad s.a.w, adalah pesan tersirat untuk memfungsikan akal, yang dalam sejarahnya telah mampu mendorong terjadinya revolusi pemikiran di dalam masyarakat Islam, dari yang sebelumnya terbelakang menjadi umat yang berada pada garis terdepan peradaban (Nasr, 2003).

Betapa pentingnya peran dan fungsi akal bagi manusia, sampai-sampai Al-Qur’an memberikan sematan khusus bagi orang-orang yang memfungsikan akalnya dengan beberapa istilah yang merujuk kepada karakteristik tertentu. Pertama, ulul albab. Istilah ini disematkan kepada orang-orang yang memiliki kecerdasan di dalam pikirannya, yang dengan kecerdasan tersebut mereka mampu mengungkapkan hikmah dan dimensi terpenting dari sesuatu yang nampak. Kedua ulin nuha, adalah sematan bagi orang-orang yang memiliki kecerdasan, kehati-hatian, dan sikap mawas diri yang membuat mereka mampu memprediksi dan mengantisipasi akibat dari setiap tindakannya. Yang ketiga, ialah ulil abshar, sematan istilah yang merujuk kepada orang-orang yang memiliki penglihatan yang tajam dan pandangan yang berbobot dalam memahami segala sesuatu. Dan yang keempat adalah ulul ‘Ilmi, sebagai istilah yang merujuk kepada karakteristik orang-orang yang menjadikan bukti atau dalil sebagai faktor penting dalam merecap pengetahuan melalui penglihatan, pendengaran, intuisi, dan penalaran logis (Pahala, 2016).

Uraian-uraian tersebut membawa kita kepada satu pengertian bahwa hifzhul ‘aql  adalah prinsip syari’at untuk memelihara akal dari berbagai hal yang dapat merusaknya. Memelihara pikiran untuk senantiasa tajam dan mendalam dalam memahami segala sesuatu. Menjadikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai panduan dalam merecap informasi. Memfungsikan akal sebagai benteng untuk menahan diri dari melakukan perbuatan buruk, serta sikap kehati-hatian dan mawas diri yang mampu memprediksi dan mengantisipasi setiap akibat dari suatu perbuatan. Pengertian inipun membawa kita pada satu pendirian penting dalam menghadapi situasi dan kondisi demokrasi hari ini. Di tengah arus transformasi digital, ambiguitas media sosial, dan fenomena post-truth, penerapan prinsip hifzhul ‘aql dapat memandu kita selaku umat Islam untuk lebih cermat dalam mengakses, memproses, dan menyebarkan informasi, berhati-hati dan mawas diri dalam menyampaikan pendapat, serta menjauhkan diri dari sikap dan perilaku yang tidak bijak.

Baca Juga: Jelang Pencoblosan Pemilu 2024, Ketum PERSIS: Jangan Sia-Siakan Hak Pilih Dan Jaga Persatuan Kesatuan Bangsa

Referensi:

Abadiy, Ya’kub al-Fairuz. Al-Qamus al-Muhith. Beirut: Muassasah al-Risalah, 2005
Al-Syahrani, ‘Abd al-‘Aziz. Al-Tahsin wa al-Tasbih al-‘Aqliyan. Riyadh: Dar Kunus Isybiliya, 2008
Al-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Ushuli al-Syari’ah. Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah
Ibnu Manzhur, Jamal al-Din. Lisanul ‘Arab. Beirut: Dar al-Shadir, 1994
Kuskridho Ambardhi, Siti Murtiningsih, dkk. Ilmu Sosial Politik Masa Depan; Menjawab Megashift?. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2023
Pahala, Lamlam. Ulul Albab; Falsafah Gerakan Kaum Intelektual. Bandung: Hima Persis Press, 2016
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.). Ensiklopedi Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2003
Sudibyo, Agus. Jagat Digital; Pembebasan dan Penguasaan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2019
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
Syuhada, Kharisma Dimas. Etika Media di Era Post-Truth. Jurnal Komunikasi Indonesia. Volume VI, Nomor 1, April 2017
Wera, Marz. Meretas Makna Post-Truth; Analisis Kontekstual Hoaks, Emosi Sosial, dan Populisme Agama. Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat. Volume 7, Nomor 1, April 2020

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Henry Lukmanul Hakim

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB
X