Dilema Proyek Whoosh: Bayar Utang Ditolak Pakai APBN, Restrukturisasi Jadi Jalan Tengah?

photo author
- Senin, 27 Oktober 2025 | 10:58 WIB

edisi.co.id - Bayang-bayang utang besar proyek kereta cepat di Indonesia, Whoosh kembali menyeruak ke permukaan.

Proyek yang menghubungkan Jakarta-Bandung itu kini menghadapi isu serius tentang nasib pembayaran utangnya ke China.

Terkini, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mempertanyakan kontrak kerja sama Indonesia-China dalam proyek Whoosh.

Baca Juga: Perang Dagang AS vs China Turun Tensi usai Daftar Hitam Ekspor Paman Sam Ganggu Gencatan Ekonomi Tirai Bambu

“Kita belum tahu jelas isi kontrak Indonesia dan China dalam proyek ini, bahkan dalam sebuah wawancara, seorang anggota DPR mengatakan tidak tahu isi kontraknya,” ujar Mahfud MD melalui kanal YouTube Mahfud MD Official, pada Sabtu, 25 Oktober 2025.

Mahfud menilai, ketertutupan kontrak antara Indonesia dan China menjadi sumber kekhawatiran publik.

Guru Besar Hukum Tata Negara itu lantas mempertanyakan terkait kemungkinan DPR benar-benar memiliki salinan kontrak tersebut dan alasan dokumennya yang disebut tidak dapat diakses secara terbuka.

“Apakah dokumen kontrak tersebut bisa diakses oleh publik secara utuh?” imbuhnya.

Berkaca dari hal itu, proyek Whoosh memang digarap oleh konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), dengan porsi saham mayoritas dipegang oleh BUMN Indonesia melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dan China Railway International Co. Ltd dari pihak China.

Total investasi proyek ini mencapai 7,27 miliar dolar AS atau setara Rp120,6 triliun, dengan sekitar 75 persen dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB) berbunga tetap 2 persen per tahun selama 40 tahun.

Di sisi lain, sebagian publik menyoroti bunga pinjaman tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tawaran Jepang yang sebelumnya sempat bersaing dalam tender proyek, yaitu hanya 0,1 persen per tahun.

Pembengkakan Biaya dan Beban BUMN

Masalah lain yang membelit proyek Whoosh adalah pembengkakan biaya alias cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp19,9 triliun. Angka itu mendorong total investasi melambung hingga lebih dari Rp120 triliun.

Untuk menutup kekurangan dana, pemerintah dan BUMN kembali harus menambah porsi pembiayaan melalui pinjaman baru dari CDB atau pihak bank China, dengan bunga di atas 3 persen.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB
X