Edisi.co.id, Jakarta - Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam Ustaz Jeje Zaenudin memberikan pandangan dari perbedaan mengenai shaum Arofah dan perayaan Hari Raya Iduladha.
Ustaz Jeje memberikan 7 alasan mengapa puasa Arofah berdasarkan penanggalan (kalender - red) yang berlaku di negeri tersebut, bukan merujuk kepada kalender Arab Saudi.
Berikut 7 alasannya;
1. Penyebutan istilah hari Arofah pada asalnya adalah untuk tanggal, bukan pada tempat ataupun aktivitas tertentu. Hari Arofah adalah tanggal sembilan Dzulhijah, baik ada yang wukuf ataupun tidak, baik ada yang puasa ataupun tidak. Karena penyebutan nama hari jika pada nama hari-hari dalam sepekan maka maksudnya adalah benar-benar nama hari tersebut secara hakiki. Umpamanya “yaum isnaen” artinya Hari Senin, tidak ada kaitannya dengan tanggal. Hari Senin bisa tanggal berapa saja. Tetapi jika disebut nama hari yang bukan kepada nama hari yang tujuh dalam seminggu itu maknanya adalah tanggal. Umpamanya dikatakan, “ayyamul bid” (hari-hari purnama) maksudnya adalah tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan; “yaum tarwiyah” artinya tanggal delapan Dzulhijah, “yaum tasyrik” artinya tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, tidak peduli ia jatuh pada hari apa saja. Maka demikian juga jika dikatakan “shaum yaum ‘arofah” maksudnya puasa tanggal sembilan dzulhijah, tidak peduli jatuh pada hari senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, sabtu, ataupun ahad.
Baca Juga: Ustazah Imas Karyamah: Keutamaan Haji Mabrur
2. Bahwa perintah puasa Arofah adalah “Shaum yaum arofah”. Artinya “puasa pada hari Arofah” bukan puasa karena adanya perbuatan jamaah haji yang sedang melaksanakan wukuf di ‘Arofah, bukan pula “puasa karena tempat Arofah”. Perhatikanlah perbedaannya dengan cermat karena di sinilah letak perselisihannya. Sebab jika ‘Arofah sebagai tempat dan sebagai aktivitas wukuf menjadi syaratnya, maka puasa Arofah hanya ada jika ada yang wukuf di Arofah. Padahal syariat ibadah shaum Arofah berlaku baik ada yang sedang wukuf ataupun tidak ada yang wukuf. Maka pelaksanaan wukufnya jamaah haji dan keberadaan tanah Arofah, tidak termasuk kedalam rukun, syarat, sabab, maupun mâni’ dari adanya perintah dan pelaksanaan puasa Arofah. Seandainya puasa Arofah dikaitkan secara langsung dengan aktivitas wukufnya jamaah haji ataupun karena keberadaan tempat Arofah, mestilah ia menjadi salah satu bagian dari terlaksananya hukum taklify. Apakah ia sebagai syarat, rukun, atau sabab? Atau jikatidak ada yang wukuf menjadi penghalang (mâni’) terlaksananya puasa Arofah. Pada faktanya tidak ada satupun dalil bahkan fatwa ulama sekalipun, yang menjadikan aktivitas wukuf sebagai rukun, syarat, maupun sabab pensyariatan puasa Arofah.
3. Puasa Arofah sudah disyariatkan sejak tahun kedua Hijrah sedang syariat ibadah haji baru pada tahun ke enam atau ke sembilan Hijrah. Jadi selama empat atau tujuh tahun, kaum muslimin puasa ‘Arofah tanpa memperhatikan kapan jamaah haji wukuf, atau tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya yang wukuf di ‘Arofah. Ini mempertegas argument yang kedua di atas.
4. Pelaksanaan puasa Arofah dengan tidak memperhatikan penanggalan setempat akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih sulit, yaitu penentuan hari lebaran Idul Adha nya. Kalau memang ada dalil yang diperselisihkan tentang pengertian puasa Arofah, apakah untuk Iduladha - nya juga harus mengikuti penanggalan Saudi? Maka akan terjadi kekacauan penanggalan bulan Dzulhijah selanjutnya yaitu setelah tanggal sepuluh. Kecuali kalau mau konsisten untuk sepanjang tahun tidak menggunakan penanggalan negeri masing-masing tetapi menggunakan penanggalan tunggal mengikuti hasil ru’yat Saudi dengan konsekwensi negeri-negeri muslim seluruh dunia tidak akan punya kalender melainkan menunggu ketetapan ru’yat Negara Saudi pada setiap awal bulan.
Baca Juga: Jelang Kurban; Sinergi Foundation Serukan Sembelih Kurban sesuai Syariat Islam
5. Fakta ilmiyah menunjukan bahwa negeri-negeri muslim terbagi pada dua wilayah mathla’ (tempat munculnya hilal) yang terkadang berbarengan terkadang berbeda. Karena munculmya hilal tidak menetap pada posisi dan ketinggian yang sama setiap awal bulan nya. Demikian juga perbedaan waktu antara satu negeri muslim di wilayah barat dengan negeri muslim di wilayah timur ada yang terpaut sampai 12 jam. Sementara pelaksanaan wukuf hanya sekitar enam jam, yaitu dari bada Zhuhur sampai Magrib. Sehingga jika kaum muslimin yang tinggal di sebagian benua Amerika yang beda waktunya antara tujuh sampai delapan jam, maka ia tidak dapat menunaikan ibadah puasa ‘Arofah karena pelaksanaan wukufnya sudah selesai. Sebaliknya kaum muslimin yang ada di Australia juga tidak bisa puasa Arofah karena ketika wukuf baru mulai mereka sudah waktu malam.
6. Fakta historis bahwa selama berabad-abad lamanya kaum muslimin di dunia melaksanakan puasa Ramadhan maupun Arofah berpatokan kepada penanggalan negara masing-masing. Sejak wafatnya Rasulullah hingga abad ke dua puluh, tidak ada satupun negeri muslim yang menyesuaikan penanggalan mereka kepada ru’yat negara Saudi, kecuali setelah diketemukannya alat komunikasi dan transformasi yang canggih sekarang ini. Bagaimana mungkin akan memberi tahukan hasil ru’yat di Saudi ke pusat khalifah Islam di Bagdad dan Qordova pada masa itu, atau ke pusat Islam di Jawa dan Sumatra, atau ke pusat Islam di India, dan lain sebagainya. Kecuali ke negeri-negeri Islam yang berada di sekeliling Mekah atau Jazirah Arab, dan itu memang hal yang rasional serta realistis.
Baca Juga: Soal Al Zaytun, Wamenag: Kita akan Tabayyun
7. Tidak ada dalil yang mengkhususkan atau yang membedakan antara ketentuan ru’yat untuk Idulfitri dengan ru’yat Iduladha. Rasul bahkan bersabda, “ Siapa di antara kamu yang sudah melihat Hilal Dzulhijah dan hendak berqurban, maka janganlah ia mencukur rambut dan jangan menggunting kukunya ” (hadits Sahih Muslim).
Demikian pula sabda Rasulullah, “, Lebaran adalah pada saat kalian berlebaran dan berkurban adalah pada saat kalian berqurban”. (Hadits sahih riwayat Tirmidzi). Kedua hadits tersebut berlaku bagi setiap negeri muslim, bukan hanya untuk Saudi Arabia saja. Wallahu’alam.
Dengan demikian, maka pelaksanaan puasa Arofah dan Iduladha mengikuti penanggalan dan hasil rukyat negeri masing-masing -Insya Allah- telah sah memenuhi kriteria ijtihadiyah-ilmiyah menurut syariat Islam.
Wallahu ‘Alam bishawab.
Artikel Terkait
Ketum Persis, Ustaz Jeje Zaenudin Sebut Filosofi Politik Persis adalah Politik Dakwah
Persis Desak Pemerintah Bekukan Pesantren Al Zaytun, Ini Alasannya
Persis Minta Penanganan LGBT Secara Serius
Menyimpang Hukum Syariah Serta Terafiliasi NII, Persis Jabar Minta Dedengkot Al Zaytun Segera Diproses Hukum