Baca Juga: Azizah Maumere Rilis Lagu Dangdut Pertama di Indonesia dalam Format Dolby Atmos
Desa Mlancu--dekat perbatasan Kediri dan Jombang--misalnya, menjadi tempat pembunuhan massal pada tanggal 25 Oktober 1965.
Bahkan, Hermawan mencatat, pada awal masa pembunuhan massal--sekitar akhir bulan Oktober hingga awal November 1965--para algojo membunuh korbannya di tempat umum dengan membuang mayatnya ke lapangan terbuka, sawah, jalanan, pasar, dan sungai.
Sesampainya di tempat pembunuhan, korban disuruh berlutut dan kemudian algojo memenggal leher korban dengan pedang.
"Algojo biasanya memilih tengkuk sebagai sasaran ayunan pedang," tulis Hermawan.
Baca Juga: Kabupaten Bogor Kejar Target Vaksinasi Keluarga
Dalam bukunya, Hermawan mengutip pernyataan seorang korban yang selamat, korban itu menceritakan bahwa dirinya ditangkap bersama kawannya.
Suatu malam, dia dibawa ke Nogosari--sebuah desa di Boyolali--kelompok ronda mengikat ibu jari para korban dengan benang.
Menurutnya, para algojo sudah berada di tempat pembunuhan, jumlahnya puluhan orang dengan memakai topeng dan membawa pedang, celurit, dan pisau.
"Satu persatu kawan saya dibunuh. Kami tidak berdaya," ujar korban dengan inisial PN, dikutip dari buku Palu Arit di Ladang Tebu (karya Hermawan Sulistyo).
Baca Juga: Pemkot Bogor Mulai Operasikan Bus Trans Pakuan
Korban PN mengatakan bahwa ia dan kawan-kawannya tidak bisa melawan karena jumlah mereka lebih banyak dan membawa senjata.
Dia juga cerita, beberapa temannya meski sudah memohon ampun tetapi mereka tetap dibantai juga.
"Saya beruntung. Saya ditebas dengan pedang, tetapi saya kebal," ungkapnya.
Dia pun pura-pura mati ketika ditebas, kemudian melarikan diri setelah para algojo pergi meninggalkan tempat pembunuhan.