berita

Di Mudzakarah, Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI, Neng Djubaedah Sampaikan Poin-poin Krusial RUU KUHP

Rabu, 12 Oktober 2022 | 20:59 WIB
Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI, Neng Djubaedah - Foto: Henry Lukmanul Hakim

Kelima, lanjut dia, MUI menyetujui dengan syarat terkait pencegahan kehamilan dan pengguguran. Syaratnya adalah, alat tersebut hanya boleh digunakan oleh orang dewasa yang sudah terikat perkawinan. Syarat ini bertujuan mempersempit ruang kesempatan untuk zina.

Keenam, mengenai aturan penggelandangan, MUI mengusulkan agar dikembalikan pada frase yang dulu. Yakni di mana penggelandangan tidak hanya untuk orang bergelandangan yang mengganggu ketertiban umum melainkan juga mereka yang menggelandang secara sengaja melacurkan diri. Sebab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pelacuran adalah hal terlarang di Indonesia.

Ketujuh, terkait pengguguran kandungan, MUI dalam hal ini setuju tetapi ada perubahan. Terkait pengguguran kandungan dalam konteks korban perkosaan, sebisa mungkin dapat digugurkan dalam usia tidak lebih dari 40 hari atau 6 minggu. Karenanya, MUI mendorong bagi korban, agar sesegera mungkin untuk melapor supaya tidak merugi.

Baca Juga: Pegawai Damkar Depok Nyaris Di Bacok Akibat Cekcok Dengan Atasan

Kedelapan, terkait perzinaan, MUI mengusulkan pasal tersebut tetap, tetapi ada perubahan. Perubahan tersebut mengenai delik aduan. Bahwa orang yang berhak mengadu tidak hanya orang tua, anak, suami dan atau istri, melainkan juga perlu ada tambahan anggota masyarakat yang rasa keadilan dan rasa kesusilaannya terganggu, terutama misalnya aduan tokoh masyarakat setempat.

Kesembilan, terkait kohebitasi (kumpul kebo), MUI mengusulkan agar hukumannya diperberat. MUI menilai hukuman 6 bulan untuk kohebitasi, sementara pelaku zina dijerat satu tahun, itu akan membuat masyarakat lebih memilih melakukan kohebitasi daripada zina karena hukumannya lebih ringan.

Kesepuluh, tentang perbuatan cabul. MUI menyetujui aturan itu, tetapi dengan catatan. Menurut MUI, masih perlu adanya penjelasan mengenai kata “di muka umum” karena kata ini menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa orang yang harus dihukum ketika melakukan perbuatan cabul hanya mereka yang melakukannya di tempat umum. Maka, perlu dijelaskan maksud “di muka umum” mungkin adalah tempat yang bisa dilihat oleh orang lain dan seterusnya, masih harus ada penjelasan lebih detail.

Baca Juga: Perwakilan Beberapa Atlet Bulu Tangkis Lakukan Tabur Bunga di Kanjuruhan 

Kesebelas, mengenai perkosaan, MUI mengusulkan agar pasal 6 tentang suami yang memaksa istrinya padahal istrinya sedang lelah dikategorikan sebagai pemerkosaan harus dicabut. Karena ini tidak sejalan dengan pesan Islam yang mengajarkan baik suami mau pun istri harus memenuhi nafkah batin pasangannya.

Kedua belas, mengenai pidana mati. MUI mengusulkan pasal ini tetap harus dipertahankan.

Ketiga belas, mengenai penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, MUI mengusulkan pasal ini tetap.

Keempat belas, soal dokter gigi tanpa izin praktek, MUI setuju pasal tersebut dihapus tapi masih harus ada sedikit perbaikan.

Baca Juga: PM Thailand Desak Presiden FAT Mundur Bila Gagal Persembahkan Medali Emas di SEA Games 2023

Kelima belas, mengenai Contempt of Court, MUI setuju karena bagaimanapun hakim harus dihormati dan dimuliakan. MUI menilai ini sejalan dengan hadis Nabi bahwa ketika hakim berijtihad, kalau benar mendapatkan dua pahala, dan kalau salah tetap mendapatkan satu pahala.

Keenam belas, mengenai advokat yang curang, MUI melihat pasal tersebut boleh dihapus atau diganti pasal lain.

Halaman:

Tags

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB