Dalam kaitan itulah, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah melakukan diskusi dengan Pemerintah dan masyarakat Tiongkok terkait pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia umat Muslim Uyghur. Diskusi serupa juga sudah terjalin di antara organisasi masyarakat Islam di kedua negara. Indonesia juga terus bekerja sama dengan negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) lainnya untuk membahas isu ini. Tujuan utama dari diskusi dan keterlibatan Indonesia dimaksud adalah untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan saudara-saudara Muslim kita di Xinjiang.
Hal yang sama juga harus menjadi fokus Dewan HAM PBB. Dalam hal ini, negara anggota harus menjunjung tinggi prinsip dan cara kerja Dewan sebagaimana tertuang dalam Resolusi SMU PBB 60/251. Di bawah resolusi 60/251, sangat jelas bagi Indonesia bahwa imparsialitas, transparansi, dan dialog harus menjadi jiwa dari kerja Dewan HAM PBB. Dewan HAM harus fokus untuk membangun lingkungan yang kondusif untuk mendorong semua negara dapat memenuhi kewajiban hak asasi manusianya. Selarasnya, peran masyarakat internasional ditujukan untuk mendukung upaya-upaya yang dilakukan negara dalam memperbaiki hak asasi manusia secara nyata di lapangan.
Indonesia memandang pendekatan yang diajukan oleh negara pengusung dalam Dewan HAM tidak akan menghasilkan kemajuan yang berarti, utamanya karena tidak mendapat persetujuan dan dukungan dari negara yang berkepentingan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Indonesia tidak dalam posisi untuk mendukung rancangan keputusan mengenai penyelenggaraan debat tentang situasi HAM di Wilayah Otonomi Xinjiang Uyghur. Indonesia sekali lagi menekankan komitmennya yang teguh untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia di seluruh dunia termasuk di Xinjiang.
Baca Juga: Jejak Langkah Islam Di Depok: Kerajaan
Pada 6 Oktober 2022, Dewan HAM PBB (DHAM) telah melaksanakan pemungutan suara terkait pengadopsian rancangan Keputusan DHAM. Adopsi rancangan keputusan DHAM PBB berisikan mandat agar dilakukan pembahasan terkait situasi HAM di Xinjiang, RRT. Hasilnya, rancangan keputusan tidak berhasil diadopsi, dengan hasil pemungutan suara 17 mendukung, 11 abstain, dan 19 menolak, termasuk Indonesia.
Bagi Indonesia, rancangan keputusan itu sarat dengan upaya politisasi terhadap metode kerja DHAM. Sejak awal, rancangan keputusan yang diajukan oleh Amerika Serikat dkk dilakukan tanpa memperhatikan prinsip imparsialitas, transparansi, dan inklusivitas. Rancangan keputusan itu, juga tidak mengindahkan upaya RRT memperbaiki situasi di lapangan serta upaya bekerja sama dengan DHAM. Sekiranya berhasil diadopsi, Keputusan DHAM ini hanya akan mempertajam perselisihan dan memperburuk kinerja DHAM. Karenanya, Indonesia menolak.
Artikel Terkait
Tragedi Kanjuruhan, PERSIS Minta Pemerintah dan Pihak Terkait Bertanggung Jawab Atas Insiden Ini
PERSIS Jakarta Harapkan Dr. Jeje Zaenudin Selektif Dalam Memilih Tasykilnya
Bersama Tasykilnya, Ketum PERSIS Kiai Jeje: PERSIS ingin Berkontribusi Besar Lagi Untuk Kemaslahatan Ummat
KH. Aceng Zakaria Harapkan PERSIS Kedepan Mampu Membangun Jamiyyah Seperti Bangunan Kokoh, Tidak Ada Kebocoran