Edisi.co.id, Bandung - Merespon rencana pemerintah menaikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BIPIH) tahun 2023 yang telah disampaikan pemerintah melalui Menteri Agama kepada Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 19 Janurai 2023 yang lalu, maka dengan ini Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP PERSIS) menyampaikan tanggapan dan usulan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melalui Komisi VIII sebagai berikut:
Dasar Pemikiran
Bahwa Ibadah Haji merupakan rukun Islam yang kelima yang wajib ditunaikan setiap muslim yang mampu satu kali seumur hidup. Karena itu menjadi cita-cita dan harapan setiap muslim untuk dapat kesempatan menunaikannya meskipun dengan pengorbanan biaya yang tidak sedikit.
Mempertimbangkan resiko dan biaya yang harus dikeluarkan dalam menunaikan ibadah haji, maka Agama Islam mensyaratkan keharusan melaksanakan ibadah haji adalah bagi mereka yang sudah mampu saja (Istitho’ah). Dimana istitho’ah itu meliputi kesehatan jasmani, rohani, bekal ilmu pengetahuan, kemampuan biaya perjalanan pulang pergi, termasuk biaya keluarga yang ditinggalkan, hingga situasi keamanan yang memungkin perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji dapat terlaksana dengan selamat dan sehat wal afiat.
Baca Juga: Kota Makassar Dikepung Banjir Akibat Curah Hujan Sangat Tinggi
Untuk mencapai istitho’ah dari aspek finansial atau pembiayaan haji, banyak kaum muslimin Indonesia, terutama dari kalangan masyarakat kecil yang tarap ekonominya rendah, yang rela menabung bertahun-tahun, bahkan dengan menjual sebagian asetnya yang berharga sebagai penopang hidup mereka seperti sawah, ladang, dan ternak. Selain mereka juga harus sabar mengantri mendapat giliran keberangkatan dengan masa tunggu yang sangat lama. Tidak sedikit dari mereka yang mengantri menunggu tahun giliran mereka untuk berangkat haji, mereka sudah terlebih dulu dipanggil oleh Allah SWT karena ajal telah menjemput mereka.
Dalam tataran pelaksanaan ibadah haji kaum muslimin Indonesia melibatkan banyak aspek dan banyak pihak. Oleh sebab itu sangat tepat bahwa penyelenggaraan ibadah haji menjadi hajat nasional yang penyelenggaraan dan tatakelolanya menjadi tanggungjawab negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan, sebagai salah satu wujud pelaksanaan dari amanah konstitusi bahwa negara menjamin dan melindungi warganya dalam menjalankan syariat agamanya. Apalagi dalam menjalankan ibadah haji mengandung banyak resiko yang harus dipikul dan bukan hanya menjadi tanggungjawab individu masing-masing jamaah tetapi membutuhkan kehadiran negara yang dapat memberikan jaminan keamanan dan keselamatan para jamaah haji sejak persiapan keberangkatan, perjalanan, pelaksanaan ibadah, hingga pulang ke tanah air dan kepada keluarga masing-masing.
Baca Juga: Tuntunlah dengan Talqin saat Sakaratul Maut
Penyelenggaraan dan Pengelolaan Keuangan Haji
Sesuatu yang patut disyukuri bahwa sejak disahkannya undang-undang penyelenggaraan ibadah haji yang pertama nomer 17 tahun 1999, kemudian direvisi dengan UU Nomer 13 tahun 2008, UU Nomer 34 tahun 2009, hingga UU Nomer 08 tahun 2019 berikut berbagai peraturan turunannya, penyelenggaraan dan tata kelola manajemen haji semakin baik dan terus meningkat, bukan hanya dirasakan oleh para jamaah haji Indonesaia itu sendiri tetapi juga mendapat apresiasi berbagai negara. Bahkan pemerintah Saudi sendiri mengapresiasi bahwa manajemen penyelengaraan haji Indonesia adalah terbaik dan patut menjadi contoh bagi negara-negara lain.
Namun demikian, bukan berarti bahwa segala aspek penyelenggaraan haji Indonesia sudah sempurna. Ada beberapa hal dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang masih menyisakan permasalahan, baik dari aspek hukum syariahnya maupun dari aspek keadilan dan prospek keberlangsungannya. Di antaranya adalah masalah biaya atau Ongkos Naik Haji (ONH) yang menggunakan sistem tabungan dan porsi yang mengakibatkan antrian yang panjang, dan menjadi permasalahan dalam setiap penetapan besaran ONH yang setiap tahunnya tentu berubah nilainya.
Termasuk permasalahan yang terkait besaran nisbah pembagian nilai manfaat yang dijadikan kewajiban pemerintah untuk diberikan kepada setiap calon jamaah sebagai “subsidi” dari nilai manfaat pengelolaan dana tabungan ONH setiap jamaah untuk memenuhi kebutuhan biaya dalam perjalanan ibadah haji.
Baca Juga: Yusril: Stabilitas Politik Akan Tercipta Jika Kekuatan Politik Nasionalis dan Islam Bersatu
Dengan kasus yang terjadi pada tahun 2022 dan 2023 ini, dimana kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) dan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) mengalami kenaikan signifikan sehingga kekurangan biaya dari yang disetorkan para calon jamaah tidak lagi bisa semuanya ditanggung oleh nilai manfaat dari hasil pengembangan keuangan haji yang dikelola oleh pemerintah (BPKH). Jalan yang ditempuh pemerintah dengan mengurangkan pemberian persentase nilai manfaat untuk menutupi kekurangan biaya perjalanan ibadah haji, secara otomatis berdampak pada penambahan jumlah biaya yang harus ditanggung para calon jamaah. Dimana pada tahun ini dari Rp. 98.8 juta biaya perjalanan ibadah haji, pemerintah mengusulkan Rp. 69.1 juta (atau 70%) ditanggung jamaah dan Rp. 29.7 juta (atau 30%) ditanggung dari nilai manfaat pengembangan keuangan haji.
Artikel Terkait
Dari Konfrensi Ulama Asean di Bali, Ketum PERSIS Sampaikan Salamat Muktamar ke XII Pemudi PERSIS di Bandung
Lantik Brigade dan Shurulkhan, Ustaz Jeje: Lindungi Ulama dan Jaga Aset Jamiyyah PERSIS
Kunjungi SMP PCI, Ketum PERSIS Sebut SMP PCI Sajikan Sekolah Islami Yang Luar Biasa, Ini Alasannya
Tolak Usulan Kenaikan Biaya Haji, PERSIS Jabar Minta Pemerintah dan DPR Batalkan Rencananya