Kerugian Rp193,7 Triliun Ternyata Hanya Hitungan Tahun 2023, Kejagung Ungkap Besarannya Bisa Mencapai 1.000 Triliun

photo author
- Senin, 3 Maret 2025 | 07:40 WIB
Keterangan Pers yang disampaikan Kejagung soal Korupsi Pertamina Patra Niaga. (Promedia)
Keterangan Pers yang disampaikan Kejagung soal Korupsi Pertamina Patra Niaga. (Promedia)

Praktik ini jelas melanggar ketentuan yang berlaku.

Dalam proses penyelidikan, Kejagung juga menggeledah rumah salah satu tersangka, Dimas Hasaspati, dan menemukan uang tunai dalam berbagai mata uang seperti dolar Singapura, dolar Amerika Serikat, serta rupiah dengan total sekitar Rp 400 juta.

Kerugian Negara Berpotensi Lebih Besar

Angka Rp193,7 triliun yang diungkap Kejaksaan Agung merupakan estimasi kerugian negara hanya untuk tahun 2023.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menekankan bahwa angka ini masih bersifat sementara dan bisa lebih besar lagi.

"Secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, berarti bisa dihitung kemungkinan lebih," ujarnya di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu 26 Februari 2025.

Jika estimasi kerugian negara setiap tahun mencapai Rp193,7 triliun, maka dalam rentang 2018-2023 totalnya bisa mencapai sekitar Rp968,5 triliun.

Harli menyebutkan bahwa Kejagung masih berfokus menghitung total kerugian negara selama lima tahun terakhir terkait kasus mega korupsi ini.

Rincian Kerugian Negara

Dalam keterangannya, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menjelaskan beberapa komponen yang menyumbang kerugian negara:

1. Kerugian akibat ekspor minyak mentah dalam negeri: Rp35 triliun.
2. Kerugian dari impor minyak mentah melalui broker: Rp2,7 triliun.
3. Kerugian akibat impor BBM melalui broker: Rp9 triliun.
4. Kerugian pemberian kompensasi (2023): Rp126 triliun.
5. Kerugian pemberian subsidi (2023): Rp21 triliun.

Konspirasi dalam Pengelolaan Minyak Mentah

Dalam aturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018, PT Pertamina diwajibkan mengutamakan pasokan minyak bumi dalam negeri sebelum melakukan impor.

Namun, dalam praktiknya, ada indikasi skenario rekayasa untuk mempermudah ekspor minyak oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan meningkatkan impor oleh Subholding Pertamina.
Keuntungan dari ekspor minyak mentah lebih besar bagi KKKS, sementara Pertamina justru mengalami kerugian akibat lebih banyak melakukan impor.

Abdul Qohar menegaskan bahwa praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menyebabkan kenaikan harga BBM yang dijual kepada masyarakat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X