Anggota Komite Eksekutif MHM Dr TGB Abdul Majdi menggarisbawahi bahwa pembahasan yang berkembang tentang AI itu berkenaan dengan otoritas keagamaan, bukan tentang eksistensi agama. Sebab, eksistensi agama itu terjaga.
Selain itu, AI juga tidak mengganggu eksistensi manusia sebagai khalifah. “Manusia sebagai jenis makhluk Allah yang diciptakan di dunia ini, dia akan selalu menjadi khalifah, dengan semua makna yang terkandung dalam makna khalifah,” tegas TGB.
TGB M Zainul Majdi merasa saat ini muncul nuasan kekhawtiran manusia, bahwa AI dianggap sebagai ancaman eksitensial. Ada kegundahan bahwa AI akan mengambil alih kemampuan berpikir kreatif.
“Hayawanun Nathiq dalam konsep Islam itu tidak hanya berpikir kreatif dalam konsep kognisi, tapi juga hikmah, spirituality. Jadi hayawanun nathiq bukan hanya kemampuan kognisi yang mungkin kita sudah kalah dari AI, tapi ada kemampuan lain yang disiapkan oleh Allah untuk manusia miliki sebagai khalifah,” sambungnya.
Baca Juga: Kereta Khusus Petani dan Pedagang Beroperasi, Upaya Pemerataan Ekonomi Berjalan
Hal ketiga yang disinggung TGB adalah bahwa perjumpaan manusia dengan sesuatu yang sangat revolusioner, terjadi di setiap waktu dalam patahan sejarah. Dalam sejarah Islam, masyarakat Madinah sempat terguncang ketika Islam melewati jazirah Arab dan berinteraksi dengan peradaban besar di Persia dan Romawi dengan peradaban luar biasa.
“Selalu ada hikmah, ketika berjumpa dengan sesuatu yang sangat revolusioner. Setiap kali perjumpaan terhadap sesuai yang sangat revolusioner, kita jangan kehilangan prinsip-prinsip kita,” paparnya.
Penurunan Literasi Keagamaan
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Amin Abdullah mengakui bahwa fenomena AI, algoritma, Chat GPT, dan lainnya memang mengubah tatanan. Tugas manusia untuk merespons dan menjawab tantangannya.
Prof Amin juga mengakui bahwa AI telah melahirkan fragmentasi otoritas keagamaan. Umat saat ini tidak lagi percaya sepenuhnya pada Bahsul Masail NU atau Majelis Tarjih Muhammadiyah misalnya, tapi muncul fatwa-fatwa baru. “Suka atau tidak suka, saat ini ada terfragmentasi otoritas,” tegasnya.
Selain itu, Prof Amin juga menyoroti fenomena komodifikasi agama. Ada sebagian orang yang menjadikan agama sebagai komoditas untuk cepat mendapatkan uang. Pada titik ini, hal yang paling mengkhawatirkan adalah penurunan literasi keagamaan genesai muda.
“Ini bagaimana PTKIN menjawab ini. Sebab mereka inginnya lima detik dapat ilmu sehingga tidak pernah lagi membaca. Ini yang membahayakan, penurunan literasi keagaman di tingkat generasi muda. Dosen harus memikirkan,” sebutnya.
Baca Juga: Ferry Irwandi Balas Sindiran Pejabat DPR soal 'Sok Paling Rp10 Miliar' saat Tangani Bencana Sumatera
“Yang menyedihkan adalah adanya AI itu memperkuat prasangka, suudhan pada kelompok lain,” sambungnya.
Ulama Menjaga Relevansi
Artikel Terkait
MUI Keluarkan Fatwa soal Pajak, Desak Pemerintah dan DPR untuk Evaluasi Aturan hingga Gencar Tangkap Para Mafia
Sempat disebut dalam Munas MUI Ini alasan koperasi merah putih Syariah perlu dibentuk
Ijtima’ Ulama MUI DKI Soroti Tantangan Fatwa di Era Global, Ulama–Umara Diminta Perkuat Sinergi
Sudah ada 111 Muallaf bersyahadat sejak Pengurus Baru MUI Kota Depok, BAZNAS siap mendukung program-program pembinaan muallaf