Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Noorhaidi Hasan menjelaskan bahwa dampak kehadiran media baru terhadap Islam sudah diprediksi para ilmuan sejak lama. Salah satu dampak itu adalah fragmentasi otoritas keagamaan. Namun demikian, kata Noorhaidi, fragmentasi otoritas keagamaan bisa bermakna ganda. Satu sisi bisa disebut demokratisasi agama.
“Ini semacam peluang di mana setiap orang bisa berbicara dan ikut andil dalam perdebatan mengenai simbol, doktrin dan makna doktrin itu bagi kehidupan beragama. Objektifikasi agama menjadi melebar dan memberi kesempatan pada setiap orang,” paparnya.
Tapi di sisi lain, lanjutnya, fragmentasi memberi ruang bagi siapa saja untuk bicara atas nama agama dan tidak jarang pandangannya ngawur. Apa yang dilkehendaki di lempar saja ke ruang publik, terserah bagaimana publik menerimanya. “Ini ada kompelksitas. Orang yang aktif memberikan tafsir radikal misalnya, mengarahkan tafsir untuk menjustifikasi pikiran dan aksi mereka,” ujarnya.
Prof Noorhaidi setuju dengan pandangan TGB Zainul Majdi bahwa perubahan revolusi teknologi digital ini bukanlah perubahan besar pertama. Dia mencontohkan masa pencerahan pada abad 16 – 18 yang melahirkan revolusi industri, poliitk dan budaya. Saat itu, Islam dan Ulama tetap bisa mempertahankan relevansinya. Ulama adalah penjaga perubahan.
Hanya, bagaimana cara ualama sekarang bisa tetap mempetahankan relevansi dan signifikansinya? Noorhaidi menjelaskan bahwa tantangan ulama masa kini pada perubahan audien. Masyarakat sekarang bukan audien 30 tahun lalu yang suka duduk mendengarkan pengajian. “Generasi baru tidak suka dengan itu. Kalau ingin tahu bagaimana salat benar, maka akan mencari informasi bagaimana salat yang benar. Dulu harus belajar fiqih. Generasi baru memerlukan ready to use Islam, Islam siap pakai bukan islam komprehensif yang menyeluruh dan harus sesuai dengan keinginan mereka,” paparnya.
“Jika ulama masih membaca audiens ini seperti audien masa lalu, maka relevansi mereka akan memudar. Jika bisa membaca audiens hari ini, ulama bisa mempertahankan relevansinya,” sambungnya.
Terkait itu, Noorhaidi menekankan pentingnya memahami aspek penting dalam bahasa algoritma. Pertama, attachment dari audien. “Audien memberikan like dan komen, respons terhadap postingan yang disampaikan,”
Kedua, personalisasi. Postingan ulama apakah menyangkut hal yang sangat personal, ready to use Islam untuk audiens atau tidak. Sebab, jika tidak, maka itu akan ditinggalkan. Ketiga, visibilitas. Sejauh mana ulama sering mengunggah dan memperbarui status atau kontennya. Keempat, relevansi konten dengan yang dikehendaki audiens.
“Jadi ada beberapa prasyarata yang harus dimiliki ulama masa kini agar tetap relevan dalam berhadapan dengan Algoritma,” tandasnya.
Mendigitalkan Ajaran Agama
Dr Mardhani dari UGM menggarisbawahi pentingnya mengembalikan AI pada definisinya. Menurut Mardhani, AI biasa diterjemahkan sebagai kecerdasan buatan, kecerdasan artifisial, atau akal imitasi. Dari konteks pengertian ini, bisa diketahui apakah definsi AI selama ini cenderung over estimation, over expectation, atau sudah pas pada posisinya.
“Kalau kita memahami AI sebagai sesuatu yang buatan dan kita sadar bahwa itu dibuat manusia, maka kita sebagai manusia sesungguhnya menyadari bahwa itu pasti ada kelemahan dan kelebihannya,” jelasnya.
AI, kata Mardhani, tidak hebat-hebat amat, meski memang canggih. AI adalah tool layaknya teknologi lainnya untuk memproses. Sama seperti ketika memproses data dengan cara tertentu.
Artikel Terkait
MUI Keluarkan Fatwa soal Pajak, Desak Pemerintah dan DPR untuk Evaluasi Aturan hingga Gencar Tangkap Para Mafia
Sempat disebut dalam Munas MUI Ini alasan koperasi merah putih Syariah perlu dibentuk
Ijtima’ Ulama MUI DKI Soroti Tantangan Fatwa di Era Global, Ulama–Umara Diminta Perkuat Sinergi
Sudah ada 111 Muallaf bersyahadat sejak Pengurus Baru MUI Kota Depok, BAZNAS siap mendukung program-program pembinaan muallaf