Baca Juga: Ridwan Kamil Apresiasi Terpilihnya Indonesia sebagai Tuan Rumah G20 Tahun Depan
Selain itu, Hermawan juga mencatat tingkah laku para algojo, mereka membawa pulang potongan telinga atau jari tangan korban sebagai "kenang-kenangan".
Sementara itu, di Kediri, para algojo memotong alat kelamin korban dan membawanya ke rumah pelacuran di Ngadiluwih.
"Mereka memasukkan potongan penis korban ke kamar pelacur," tulis Hermawan.
Tak hanya itu, menurut Hermawan, para algojo juga menancapkan bendera PKI di atas mayat-mayat yang dibuang ke sungai Brantas.
Baca Juga: DLHK : Warga Depok waspada cuaca ekstrem
Hermawan pun menyebutkan, pola pembunuhan massal tidak hanya dilakukan pada malam hari, tetapi juga pada siang hari.
Namun, operasi pada siang hari jarang dilakukan di rumah-rumah penduduk. Kelompok ronda langsung menuju ke lokasi yang diduga sebagai tempat orang-orang PKI berkumpul, seperti markas atau tempat pertemuan mereka.
Sementara itu, setelah memasuki periode kedua pembunuhan massal--sekitar bulan Januari - Agustus 1966--pola pembunuhan terlihat "lebih sopan".
Baca Juga: 6 Alasan Mengapa Ibu Kota Negara Perlu Pindah
Menurut Hermawan, mayat korban tak lagi ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur. Mereka dikuburkan atau dibuang ke daerah-daerah terpencil seperti Ngrayut--sebidang tanah yang tidak terpelihara di tengah-tengah sawah dan ladang tebu.
Para algojo membuang mayat korban ke dalam jurang sedalam sekitar lima meter. Dan, sisanya dikubur di lubang-lubang sedalam tiga meter.