Oleh: Dr. Pepen Irfan Fauzan - Sekretaris Bidang Tarbiyah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Borosngora PERSIS)
Ketika gerakan kaum hawa Islam Indonesia melakukan demonstrasi menentang UU Perkawinan No. 19/1952, tercantum dalam berita koran-koran waktu itu perwakilan dari organisasi Persatuan Islam Isteri (Persistri). Dalam Java-Bode (16 Desember 1953), tercantum nama organisasi-organisasi yang menentang UU tersebut, berturut-turut: Peladjar Mu’allimat, Persistri, Al-Irsjad Isteri, Peladjar Islam Indonesia Puteri, GPII Puteri, Aisyiah, Muslimat, Wanita Islam Maluku, Kerukunan Puteri Islam, Wihdatul Muslimat, dan Alkatirijah Puteri. Konten koran dengan judul Islamietische Vrouwen Over Huwelijkswet itu, bahwa Persistri menyerukan pada Pemerintah supaya “wawasan Islam” menjadi inti sari dari UU Perkawinan 19/1952.
Pada waktu itu, Persistri belum ditemani kader pemudi. Barulah pada tahun berikutnya, gerakan Persistri dalam kancah sosial-politik nasional mendapat back-up dari kader mudanya itu. Dalam De Nieuwsgier (19 Maret 1954), dengan judul berita Critiek op Het Beleid van De Minister van Godsdienst Zaken, dengan jelas mencantumkan kelengkapan organisasi Persatuan Islam (PERSIS), yakni: ”Op een te Bandoeng gebouden vergadering van het hoofdbestuur van de “Persatuan Islam”, bijgevoegd door de raad van ulama van de vereniging, het hoofdbestuur van de Persistri, het hoofdbestuur van de Pemuda Persatuan Islam en het hoofdbestuur van de Djam’ijatul Banat...” Yakni, ketika melakukan kritik terhadap rancangan Menteri Agama KH. Masykur (1953-1955), konferensi pers PERSIS dilengkapi oleh Majelis Ulama, PB Persistri, PB Pemuda PERSIS, dan PB Dajamijatul Banat. Yang terakhir inilah nama organisasi yang disematkan pada Pemudi PERSIS.
Jika respon Persistri terhadap “politik keluarga” melalui kritik UU Perkawinan 1952—belum ditemani kader pemudinya, hal itu memang karena secara legal-formal organisasinya belumlah ada. Walaupun tentu saja dalam tubuh Persistri itu sendiri tidak hanya terdiri dari kaum ibu, tapi juga para perempuan muda yang di antaranya malah belum bersuami. Dulu, pada periode awal Persistri, para aktivisnya memang didominasi para “Nyonya” suatu istilah yang tenar yang disematkan pada kaum ibu era Kolonial Belanda. Namun demikian, ada juga barisan “Nona Persistri”. Di antaranya yang sangat terkenal di era 1930-an adalah Nona Noerdjanah, seorang muballighah muda Betawi yang sering tampil menyuguhkan ideologi Persistri.
Kita jadi mengetahui seperti apa tujuan dan karakteristik organisasi Persistri justru dari sang “Nona Persistri”, muballighah muda itu. Majalah Al-Lisaan pada rentang tahun 1936-1937, berita Persistri dipenuhi kegiatan dan gagasan Nona Nurdjannah, ketimbang para pemimpin Nyonja-Nyonya Persistri itu sendiri. Jika Pemudi Persatuan Islam (PERSIS) ditakdirkan lahir di era Kolonial Belanda itu jika kita boleh berandai-andai dalam sejarah—tentu Nona Nurdjanah inilah yang akan menjadi Ketua Perdananya!.
Baca Juga: Jatuhkan Sanksi, PWI Berhentikan Penuh Umbaran Wibowo dari Keanggotaan PWI
Kita balik lagi pada berita koran di atas. Dari konteks politik UU Perkawinan itu, kesadaran terkait “keluarga” tampaknya menginspirasi kehadiran atau lebih tepatnya pendirian organisasi “puteri” PERSIS. Tidakkah isu perkawinan merupakan isu strategis tentang tatanan keluarga? Baik dalam perspektif kultural maupun Syariah (Islam), keluarga adalah tatanan fundamental dalam bermasyarakat dan bernegara (juga, tentu saja, beragama). Padahal waktu itu, tahun 1952-1953, Bagian Otonom PERSIS baru terdiri dari Persistri dan Pemuda PERSIS. Seolah masih timpang sebagai sebagai sebuah keluarga, karena hanya ada ayah, ibu, dan putera laki-lakinya. Sementara “sang puteri” belum ada atau lebih tepatnya: “belum lahir” secara resmi.
Oleh karena itulah, tidak lama berselang ketika Persistri kembali turun gelanggang, kali ini Maret 1954 sudah dibersamai oleh kader pemudinya itu. Sang puteri telah lahir dengan nama: Djam’ijjatul Banat! Konon, pecah tangis kelahiran sang puteri itu pada 28 Pebruari 1954. Dan, beberapa minggu kemudian pada Maret 1954, sang puteri yang bernama Djam’ijjatul Banat itu sudah turun aksi, membersamai keluarga besarnya: PERSIS, Persistri, dan Pemuda PERSIS. Jelas, lahirnya sang puteri melengkapi gerakan PERSIS waktu itu, pertengahan dekade 1950-an.
Lalu, amanat jihad apa yang dibebankan pada pundak Djam’ijjatul Banat? Pertanyaan yang teramat penting ini mesti direnungi dalam-dalam oleh para kader Pemudi PERSIS. Ketika Qanun PERSIS disyahkan pada Muktamar tahun 1957 di Bandung, identitas gerakan Djamiyatul Banat pun dikukuhkan.
Baca Juga: Menko Marves: KPK jangan Sering-sering OTT, Mahfud MD: Pak Luhut Benar
Pemahaman tentang “identitas gerakan” menjadi bagian dari internalisasi nilai-nilai perjuangan. Sebagai doktrin harokah, ia harus terus-menerus disampaikan. Supaya tidak sekedar “diketahui” dan dihapal, tetapi lebih dari itu harus “terjiwai”. Ia menjadi spirit yang tumbuh dalam pemikiran dan kesadaran. Memperkuat daya-juang, menjadi daya-dorong pada ghirah perjuangan.
Apa identitas utama kaum mudaPersatuan Islam (PERSIS)? Mau ikhwan atau akhwat, identitas itu bukan pada segi usianya saja. Melainkan, sebagai “kader-kader barisan pelopor Persatuan Islam (PERSIS) yang bertugas melaksanakan khittah perjuangan PERSIS”. Pelopor artinya perintis, para pembuka jalan yang mula-mula. Pelopor adalah garda terdepan yang tentu saja paling beresiko. Sebagai ilustrasi, ketika ngabaladah (yang pertama membuka lahan hutan untuk jadi hunian), tentu beresiko terkena onak dan duri. Artinya, setiap kader pelopor harus "siap berdarah-darah", penuh jiwa pengorbanan.
Pada Bab VI Pasal 2 Ayat 7 Qanun Persatuan Islam (PERSIS) 1957 disebutkan: ”Di samping Persistri diadakan Djam’ijjatul Banat, ialah organisasi Pemudi-Pemudi Persatuan Islam.” Sementara pada ayat 8-nya ditetapkan juga: ”Djam’ijjatul Banat mempunjai qanun tersendiri jang disjahkan oleh Pusat Pimpinan Persistri dan Pusat Pimpinan Persatuan Islam.” Dengan kata lain, Djam’ijjatul Banat adalah kader Persistri sekaligus kader Persatuan Islam (PERSIS). Ia dihadirkan sebagai apa? Tiada lain sebagai “barisan kader pelopor Jamiyyah!” Tentu saja dalam ranah sebagai seorang Muslimah.
Baca Juga: Siap Nyapres, Sandiaga Uno: Terus Berkoordinasi Dengan Prabowo Subianto
Wabilkhusus kader Pemudi Persatuan Islam (PERSIS), ia harus menjadi pandu bagi ibunya: Persistri. Dalam setiap gerak dan langkahnya, ia selalu berada di barisan terdepan dalam mem- back-up sekaligus menunaikan misi Persistri. Itulah misi utama Pemudi, selain misi untuk dirinya sendiri. Pun sebagai pandu sang bunda, ia juga harus punya “peta-jalan” yang terarah. Setiap kader Pemudi, mau tak mau, harus selalu melakukan kreasi dan inovasi, sehingga ia benar-benar ada “di depan”. Dengan begini, setiap kader Pemudi dituntut harus selalu giat menuntut ilmu, terlibat dalam setiap diskursus: baik, sosial, politik, budaya dan hal-hal khusus yang berkaitan dengan keperempuanan.
Artikel Terkait
Dari Awal Gempa Cianjur, Sigab PERSIS Masih Bertahan Bantu Penyintas, Saat Ini Fokus Bangun Huntara
Penguatan Kaderisasi Berkualitas, PERSIS Launching Program AHSC dan Canangkan 100 Doktor Kader Jamiyyah
Tanamkan Jiwa Kedisiplinan dan Kemandirian, 254 Santri Pesantren PERSIS 69 Matraman Ikuti Mukhoyam
Dari Konfrensi Ulama Asean di Bali, Ketum PERSIS Sampaikan Salamat Muktamar ke XII Pemudi PERSIS di Bandung