Artinya, setelah menjadi seorang muslim, orang Jawa tak cukup “baik” saja. Tapi bisa melaksanakan “Laku Papat”. Tak lain tak bukan shalat, puasa, zakat dan haji. Intinya demikian.
Mungkin terkesan “Otak Atik Gathuk” alias “Cocoklogi”. Tapi, itulah tafsir yang bisa kita temukan dalam tradisi kebudayaan ketupat lebaran.
Sebenarnya, masih banyak tafsir lain. Beragam makna filosofis yang bisa kita dapatkan.
Misalnya, anyaman ketupat yang sangat rumit, menggambarkan bagaimana lika-liku kehidupan manusia begitu penuh drama, pasti ada kesalahan di dalamnya, sehingga meminta maaf adalah tradisi muslim Jawa untuk merobohkan keangkuhan dan kesombongan diri.
Makan ketupat dengan santan (santen) mengingatkan semuanya itu. Santen berarti “pangapunten”, mengakui kesalahan.
Parikan Jawa menyebutkan “mangan kupat nganggo santen, menawi lepat nyuwun pangapunten” (makan ketupat pakai santan, bila ada kesalahan mohon dimaafkan”.
Itulah secuil filosofi ketupat lebaran yang bisa saya “jlentrehkan”.***
)*Pengamat Komunikasi. Pendiri Komunikasyik.com
Artikel Terkait
Insiden Penembakan Kantor MUI, Kiai Cholil Minta Masyarakat Tidak Terprovokasi
Gelar Halalbihalal, Ilham Harapkan PWI Dikenal seluruh Elemen di Jakarta Utara
Kementerian Agama Mengecam Penembakan di Kantor MUI, Menag: Dukung Polri Identifikasi Pelaku
Sambang Bhabinkamtibmas Pulau Tidung Ajak Tokoh Masyarakat Jaga Kamtibmas
Polres Jakbar Bongkar Gudang Penyimpanan 37 Juta Butir Obat Terlarang, Nilainya Hampir Rp 500 M