Ketika Media Sosial Dibungkam di Nepal

photo author
- Jumat, 12 September 2025 | 10:03 WIB
Dr M. Harry Mulya Zein (Foto Istimewa)
Dr M. Harry Mulya Zein (Foto Istimewa)

Oleh: Dr M. Harry Mulya Zein 

Penulis adalah Pemerhati Ilmu Pemerintahan, Dosen Vokasi Universitas Indonesia

Anggota Dewan Pakar Asosiasi Media Konvergensi Indonesia

Aktivis Forum Senja

Edisi.co.id - Gelombang demonstrasi besar di negara Republik Demokratik Federal Nepal yang meluap Kamis (11/9/2025), bagaikan tsunami yang menggulung segalanya.

Nepal yang kini berpenduduk sekitar 29,65 juta orang menjadi kalang kabut. Pucuk pimpinan negeri itu dipaksa mundur.
Demonstrasi Nepal bermula dari pemblokiran yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi setempat.

Pemerintah Nepal mengintruksikan otoritas telekomunikasi untuk menonaktifkan akses ke-26 platform media sosial yang tidak terdaftar.

Pemblokiran media sosial tersebut telah memicu gelombang protes yang diwarnai kerusuhan yang memaksa mundur Presiden Nepal Ram Chandra Poudel dan Perdana Menteri KP Sharma Oli dari tampuk kekuasaan mereka.

Hal ini menunjukan bahwa media sosial betapa memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Penggunanya lebih banyak dari kalangan Gen Z.

Di era segala serba internet yang ditandai dengan maraknya penggunaan media sosial dan pers sebagai sarana komunikasi, ada secercah harapan berjalannya kontrol sosial. Setidaknya, kontrol sosial yang sekarang banyak dilakukan netizen melalui media sosial diharapkan berfungsi sebagai watch dog atau penjaga keterbukaan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.

Salah satunya yang telah dipantau oleh netizen adalah keterbukaan para penyelenggara negara yang kurang peka terhadap keadaan yang saat ini terjadi di tengah jurang pemisah yang ekstrem dalam kehidupan sosial.

Sebagai contoh,  tingkah laku dan ucapan Menteri Keuangan RI Purbaya yang baru dilantik mengeluarkan pernyataan yang kontroversial salah satunya menganggap bahwa gerakan 17+8 sebagai suara sebagian kecil rakyat. Menurut Purbaya, tuntutan itu akan hilang secara otomatis, apabila dia berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi 6 hingga 7 persen.

Baca Juga: TNI Bergerak Cepat Evakuasi Korban Banjir di Denpasar, Kodam IX/Udayana Kerahkan Ratusan Prajurit

Menurutnya, masyarakat akan sibuk mencari kerja dan makan enak dibanding memilih berdemontrasi. Pernyataan kontroversial ini menuai kritik dari netizen beramai-ramai.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ilham Dharmawan

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB
X