Edisii.co.id - Pernahkah Kamu menonton film horor Indonesia terbaru seperti __Sewu Dino, Siksa Kubur, atau Janur Ireng_, dan merasa bulu kuduk berdiri justru saat si hantu mulai bicara? Anehnya, mereka tidak berteriak “Aaaaargh”, melainkan bersbisik dalam bahasa daerah yang sangat halus, sangat _kromo_.
Dulu, setan difilm kita mungkin Cuma modal geraman. Tapi sekarang, ada tren baru; *Teror* *Linguistik*. Kenapa penggunaan dialek daerah dan bahasa klasik justru bikin film horor kita naik kelas dan makin seram? Mari kita bedah rahasianya.
1. “Uncanny Valley’’: Saat yang Akrab Terasa Asing
Dalam linguistik dan psikologi, ada istilah Uncanny Valley. Ini adalah perasaan tidak nyaman saat kita melihat sesuatu yang sangat mirip manusia, tapi ada yang “salah”.
Bahasa Jawa halus atau dialek lokal yang medok adalah sesuatu yang akrab di telinga kita. Namun, Ketika bahasa yang seharusnya digunakan untuk kesantunan itu keluar dari mulut entitas gaib ditengah hutan, otak kita mengalami eror. Kesantunan itu berubah menjadi ancaman yang dingin. Rasanya jauh lebih mencekam mendengar hantu berkata, “Monggo pinarak....” (Silakan mampir) daripada sekedar teriakan kasar.
2. Kekuatan “Language of the past” (Bahasa masa lalu)
Film horor Indonesia sering kali mengangkat tema klenik, santet, dan perjanjian kuno. Secara linguistik, penggunaan bahasa daerah kuno (seperti Jawa Kuno atau Sunda Buhun) memberikan efek Otoritas.
Bahasa tersebut terdengar seperti mantra. Bagi penonton modern yang sehari-hari bicara “Gue-Elo” atau bahasa Jaksel, mendengar dialek lokal yang kental menciptakan jarak waktu. Seolah-olah kita sedang berhadapan dengan kekuatan purba yang tidak bisa dilawan oleh logika masa kini. Bahasa disini bukan sekedar alat komunikasi, tapi sebagai “jembatan” menuju dunia lain.
3. Dialektologi: Biar Nggak “Cringe” Lagi
Ingat zaman dulu saat semua karakter difilm horor bicara pakai bahasa Indonesia yang baku dan kaku seperti membaca buku teks? Cringe, kan?
Sekarang, para sutradara mulai sadar akan Dialektologi (ilmu tentang dialek). Dengan menggunakan logat spesifik misalnya logat Jawa Timur yang lugas atau logat pesisiran, film terasa lebih “nyata” atau grounded. Saat penonton percaya bahwa latar tempat dan bahasanya nyata, maka rasa takut yang muncul pun akan terasa lebih nyata. Kita merasa teror itu benar-benar terjadi disebuah desa di Jawa, bukan di set film Jakarta.
4. Identitas Lokal sebagai “Jualan” Utama
Secara sosiolinguistik, tren ini menunjukan bahwa kita mulai bangga dengan keragaman identitas. Bahasa daerah bukan lagi dianggap “ndeso”, melainkan dianggap “eksotis” dan punya nilai estetika tinggi di layar lebar, Film horor menjadi panggung utama dimana kekayaan kosa kata daerah dipamerkan secara epik (meskipun dalam konteks yang bikin merinding)
Kesimpulan
Jadi, lain kali kamu menonton film horor dan mendengarkan karakter setannya bicara pakai bahasa daerah yang kental, sadarilah bahwa kamu sedang “diserang” secara linguistik. Para sineas kita sudah paham bahwa cara tercepat menuju rasa takut bukan Cuma melalui mata, tapi lewat telinga dan pemahaman budaya kita sendiri.
*Ternyata, bahasa daerah tidak hanya membuat kita merasa pulang kerumah, tapi kadanag..... membuat kita ingin cepat-cepat lari dari sana.*
Artikel Terkait
Jejak Ari Kurniawan, Relawan PMI Kota Tangerang, di Balik Truk Tangk di Tengah Banjir Bandang Aceh
Berkasih Sayang dalam Pemulihan Bencana, Meneladani Rasulullah dalam Cinta yang Memanusiakan
Dari Fatwa ke Aksi: Transformasi Peran MUI dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat
Hadiri Gelar Perkara Khusus, Roy Suryo Bantah Periksa Langsung Ijazah Jokowi
Fenomena Baju Donasi Banyak Menumpuk di Pinggir Jalanan Aceh, Warga Curhat Sejumlah Pakaian Lebih Cocok untuk Kondangan