Bahasa Gaul Generasi Z : Kreativitas Linguistik atau Kemunduran Bahasa?

photo author
- Rabu, 17 Desember 2025 | 15:08 WIB

Oleh : Rachmatul Azizah

Generasi Z adalah generasi yang tumbuh bersamaan dengan pesatnya perkembangan media sosial. Sejak awal, ruang digital bukan hanya menjadi tempat berbagi cerita atau pendapat, tetapi juga ruang utama pembentukan bahasa. Singkatan, istilah gaul, hingga emoji hadir sebagai bagian dari komunikasi sehari-hari. Bahasa yang digunakan terasa cepat, ringkas, dan ekspresif. Tidak sedikit yang menilai fenomena ini sebagai bentuk kreativitas linguistik. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan yang patut direnungkan: apakah bahasa gaul digital ini benar-benar memperkaya bahasa, atau justru perlahan melemahkan kesadaran kita terhadap makna?

Dalam kajian linguistik, bahasa tidak dipahami semata-mata sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai alat berpikir. Sapir dan Whorf pernah mengemukakan bahwa bahasa memengaruhi cara manusia memandang realitas. Jika pandangan ini diterima, maka perubahan cara berbahasa di ruang digital juga berpotensi memengaruhi cara Generasi Z memahami dan mengekspresikan dunia. Bahasa yang semakin singkat, simbolik, dan implisit tidak bisa hanya dibaca sebagai gaya, melainkan juga sebagai gejala linguistik yang memiliki implikasi kognitif dan sosial.

Salah satu fenomena yang paling terlihat dalam bahasa gaul Generasi Z adalah normalisasi bentuk-bentuk bahasa yang tidak baku. Ungkapan seperti “di cancel”, “di spill”, atau “di repost” begitu lazim digunakan di media sosial hingga jarang dipertanyakan. Dalam perspektif sosiolinguistik, kebakuan bahasa tidak hanya ditentukan oleh aturan tata bahasa, tetapi juga oleh penerimaan sosial. Ketika suatu bentuk bahasa digunakan secara berulang dalam komunitas tertentu, bentuk tersebut memperoleh legitimasi, meskipun secara kaidah dianggap keliru.

Baca Juga: Menulis sebagai Jalan Ingatan, Literasi, dan Pemulihan Bangsa

Menurut saya, penggunaan bahasa gaul ini tidak selalu menunjukkan ketidakmampuan berbahasa. Banyak penutur muda sebenarnya memahami bentuk bahasa baku, tetapi memilih bentuk yang lebih santai karena dianggap lebih akrab dan sesuai dengan konteks digital. Persoalan muncul ketika kebiasaan tersebut terbawa ke situasi yang menuntut ketepatan, seperti dunia akademik. Bahasa kemudian diproduksi secara refleks, tanpa pertimbangan konteks. Akibatnya, batas antara bahasa informal dan formal menjadi semakin kabur.

Selain itu, bahasa gaul Generasi Z juga memperlihatkan pergeseran karakteristik bahasa tulis menuju bahasa tutur. Tulisan di media sosial sering menyerupai percakapan lisan: struktur kalimat longgar, penggunaan partikel seperti “aja”, “tuh”, dan “sih”, serta penghilangan unsur kalimat yang dianggap sudah dipahami bersama. Halliday menegaskan bahwa bahasa selalu terikat pada fungsi sosial dan konteks pemakaiannya. Ketika satu ragam bahasa terus mendominasi, kemampuan berpindah ragam sesuai konteks menjadi tantangan tersendiri.

Fenomena lain yang tidak kalah menarik adalah penggunaan emoji sebagai pengganti ungkapan verbal. Emoji seperti , ☺️, atau ???? sering digunakan untuk mewakili perasaan yang sebenarnya kompleks. Dalam kajian semiotik, emoji dapat dipahami sebagai tanda visual yang menyampaikan makna emosional. Secara pragmatik, emoji membantu memperjelas sikap penutur. Namun, ketika emoji sepenuhnya menggantikan kata dan kalimat, makna pesan menjadi sangat bergantung pada interpretasi pembaca. Simbol yang sama bisa dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda pula.

Tidak bisa dimungkiri, kecenderungan ini menunjukkan bahwa bahasa digital semakin mengutamakan kecepatan dan efisiensi. Pesan disampaikan secara singkat, tetapi sering kali kehilangan penjelasan dan kedalaman. Bahasa tidak lagi dituntut untuk menguraikan gagasan, melainkan cukup memberi sinyal emosional. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini berpotensi memengaruhi kemampuan penutur untuk menyampaikan pikiran secara runtut dan argumentatif, terutama dalam konteks akademik.

Dari sisi semantik, penggunaan istilah viral seperti “toxic”, “healing”, atau “valid” juga menunjukkan terjadinya penyederhanaan makna. Kata-kata tersebut digunakan dalam berbagai konteks tanpa batasan yang jelas. Akibatnya, maknanya melebar dan kehilangan ketepatan konsep. Chaer menyebut bahwa makna kata sangat bergantung pada konteks pemakaian. Ketika konteks diabaikan, kata berubah menjadi sekadar label emosional, bukan lagi istilah dengan makna yang spesifik.

Sebagai mahasiswa, saya cukup sering menyadari bagaimana kebiasaan berbahasa di media sosial terbawa ke ruang akademik. Ungkapan yang terasa wajar di kolom komentar kadang muncul dalam tugas tertulis, bahkan tanpa disadari. Dari pengalaman ini, saya melihat bahwa tantangannya bukan terletak pada kemampuan berbahasa, melainkan pada kesadaran memilih bahasa sesuai konteks. Kesadaran inilah yang perlahan tergerus oleh dominasi bahasa digital.

Meski demikian, bahasa gaul Generasi Z tidak dapat langsung dilabeli sebagai kemunduran bahasa. Dalam perspektif sosiolinguistik, variasi bahasa merupakan bentuk adaptasi terhadap konteks sosial dan teknologi. Bahasa gaul digital mencerminkan kreativitas, solidaritas kelompok, serta identitas generasi. Persoalannya bukan pada munculnya bentuk-bentuk baru, melainkan pada hilangnya kesadaran berbahasa kontekstual.

Pertanyaan “kreativitas linguistik atau kemunduran bahasa” sejatinya tidak harus dijawab secara hitam-putih. Bahasa gaul dapat menjadi wujud kreativitas ketika digunakan secara sadar dan proporsional. Namun, ia berpotensi menjadi kemunduran ketika digunakan secara seragam tanpa mempertimbangkan fungsi bahasa sebagai alat berpikir dan pembangun makna.

Pada akhirnya, sebagai generasi yang paling aktif berbahasa di ruang digital, Generasi Z memiliki peran penting dalam menentukan arah perkembangan bahasa. Di tengah tuntutan kecepatan dan kepraktisan, menjaga kesadaran berbahasa bukanlah sikap kaku, melainkan bentuk tanggung jawab intelektual. Bahasa tidak hanya berfungsi untuk bereaksi, tetapi juga untuk memahami dan memaknai.***

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB
X