Berawal dari Kritikan Tamu India
Dalam buku Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai yang terbit tahun 2019 mengungkapkan bahwa salat Ied di lapangan bermula dari sebuah kritikan.
Kritikan itu datang dari tamu India di era kepemimpinan Kiai Ibrahim tahun 1923 hingga 1933.
Masih mengutip dari laman resmi Muhammadiyah, diceritakan bahwa tamu tersebut mempertanyakan mengapa organisasi yang telah memposisikan diri sebagai gerakan Tajdid atau pencerahan ini masih menggunakan Masjid Keraton Yogyakarta untuk salat Idul Fitri.
Menurutnya, seharusnya Muhammadiyah sudah mulai melakukan salat Idul Fitri di lapangan seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Padahal, penggunaan Masjid Keraton Yogyakarta untuk menghormati Sultan Hamengkubuwono VII.
Penghormatan itu dilakukan setelah Muhammadiyah mendapatkan izin untuk merayakan hari besar Islam yang berbeda dengan Keraton.
Pasalnya, sejak dulu sampai saat ini, Muhammadiyah menggunakan hisab dan kalender Hijriah, sementara Keraton menggunakan kalender Jawa atau Aboge.
Salat Ied di Lapangan Dilakukan Sampai Sekarang
Pelaksanaan salat Ied di lapangan kemudian sesuai dengan keputusan Muktamar tahun 1926.
Sejak saat itu, berbagai cabang Muhammadiyah yang ada di seluruh Indonesia mulai untuk melaksanakan salat Ied di lapangan sampai saat ini.***