Data belanja iklan di atas menjadi pijakan kuat bagi urgensi konvergensi redaksi dan inovasi model bisnis. Ada beberapa implikasi. Karena pemasukan dari digital kini jauh lebih besar, media harus melatih jurnalis yang mampu bekerja dengan format multimedia dan cepat merespons data pengguna, misalnya penggunaan video, infografis, posting media sosial, hingga interaksi daring.
Lalu, ketergantungan pada iklan cetak makin tidak sustainable. Media perlu memperluas sumber pendapatan: iklan digital, konten sponsor, langganan digital, retail media, dan monetisasi platform online. Retail media --sebagai bagian dari digital-- menjadi salah satu segmen yang pertumbuhannya cepat.
Pada aspek regulasi dan kepemilikan media, Pemerintah dan lembaga terkait perlu memperbaharui regulasi penyiaran dan pers agar bisa mengatur kepemilikan media lintas platform, menjaga keberagaman konten, dan mencegah dominasi satu pihak dalam digital yang bisa memengaruhi objektivitas. Regulasi juga perlu mengantisipasi masalah seperti distribusi pendapatan iklan, perlindungan jurnalis digital, dan hak akses publik terhadap informasi.
Dengan belanja iklan digital mendominasi, media bisa memperoleh efisiensi melalui integrasi kerja antarplatform. Struktur organisasi yang dulunya terpisah (redaksi cetak, redaksi TV, redaksi daring) kini perlu digabung atau memiliki mekanisme kerja yang saling mendukung agar penggunaan sumber daya manusia dan teknologi bisa optimal.
Kesimpulannya. konvergensi media bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Data belanja iklan di Indonesia menunjukkan bahwa digital telah mengungguli cetak dalam hal potensi pendapatan, sehingga media yang gagal menyesuaikan diri akan menghadapi risiko ketinggalan --bukan hanya dalam hal teknologi, melainkan dalam hal daya tarik bagi pengiklan, dan relevansi di mata pembaca.
Transformasi menyeluruh diperlukan: redaksi, kompetensi, regulasi, dan model bisnis harus berubah agar media bisa bertahan dan berkembang di era digital.