Mengukur Keberhasilan MBG
Di sisi lain, pemerintah menekankan bahwa kasus keracunan hanya sebagian kecil dari keseluruhan program. Presiden Prabowo menyebut 0,00017 Persen dari 30 juta penerima yang terdampak. Namun, ukuran keberhasilan program gizi seharusnya tidak hanya dilihat dari angka persentase.
Indikator keberhasilan mestinya terukur seperti hasil pemeriksaan hemoglobin, berat badan, tinggi badan, wawancara kesehatan, hingga prestasi akademik siswa.
Faktanya, Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat lonjakan korban mencapai 8.649 anak hingga 27 September 2025, dengan tambahan terbanyak 2.197 anak dalam sepekan terakhir. JPPI bahkan menuntut penghentian sementara seluruh dapur MBG untuk evaluasi total serta reformasi tata kelola distribusi makanan.
Pola Lama dalam Program Gizi
Program gizi di Indonesia sejatinya bukan hal baru. Dari masa Soekarno pdengan Program Gizi Nasional, era Soeharto dengan Posyandu dan P2K, hingga era Reformasi dengan PKH, upaya intervensi gizi selalu ada. Namun, tantangan terbesar selalu terletak pada tata kelola dan konsistensi pelaksanaan.
Banyak program justru tersandung di lapangan, baik karena lemahnya SDM, distribusi, maupun integritas pengelola.
Kasus Korupsi Biskuit Kemenkes
Kelemahan tata kelola program gizi semakin tampak dari kasus terbaru yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah itu menemukan dugaan korupsi dalam pengadaan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa biskuit gizi untuk ibu hamil dan balita di Kementerian Kesehatan periode 2016–2020.
Modusnya sangat merugikan: kandungan gizi biskuit dikurangi, diganti dengan komposisi lebih banyak gula dan tepung, demi keuntungan kelompok tertentu. Akibatnya, biskuit yang seharusnya menjadi instrumen penting pencegahan stunting justru berpotensi memperburuk kesehatan generasi muda.
KPK bahkan telah menyiapkan penerbitan Sprindik umum pada September 2025 untuk menindaklanjuti kasus ini. Fakta ini memperlihatkan bahwa problem utama bukan semata pada ide program gizi, melainkan pada kualitas implementasi dan integritas pengelolaannya.
Penutup
Kasus keracunan MBG dan skandal biskuit Kemenkes adalah dua cermin dari masalah yang sama: tata kelola gizi. Evaluasi menyeluruh bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Tanpa pembenahan serius, program sehebat apa pun hanya akan melahirkan narasi miris: dari dapur sekolah hingga meja KPK.
Terima kasih, Indonesia.
Bisa bikin senyum, walau getir.
Tapi tetap kami cintai sepenuh hati.
Referensi