Edisi.co.id - Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) semakin menjadi perbincangan di tengah upaya penanggulangan berbagai masalah lingkungan.
Salah satu bentuk TMC yang dikenal adalah hujan buatan.
Teknologi ini dijalankan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melalui Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Hujan buatan merupakan suatu usaha manusia untuk memodifikasi kondisi cuaca demi mencapai tujuan tertentu, seperti mengatasi kekeringan, karhutla, atau bahkan pencemaran udara.
Namun, istilah "hujan buatan" sebaiknya tidak diartikan harfiah sebagai menciptakan hujan, melainkan untuk meningkatkan dan mempercepat terjadinya hujan melalui penyemaian awan.
Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) menjelaskan bahwa proses hujan buatan dilakukan melalui penyemaian awan dengan menggunakan bahan higroskopik yang menyerap air.
Baca Juga: Pj. Gubernur Heru Buka Diskusi Publik untuk Rumuskan Kebijakan Penanganan Kualitas Udara
Hal ini memacu pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan dan mempercepat terjadinya hujan.
Penting untuk diingat bahwa operasi TMC juga bergantung pada kondisi alam. Jumlah awan yang ada akan memengaruhi hasil operasi TMC.
Jika awan melimpah, maka peluang terjadinya hujan lebih besar.
Penerapan TMC harus memperhatikan penetapan status siaga darurat oleh lembaga atau pemerintah yang berwenang, seperti BNPB atau Kepala Daerah.
Penerapan ini didasarkan pada data musim hujan dan kemarau, analisis data curah hujan, serta pertimbangan antisipatif untuk pengendalian karhutla.
Sejarah TMC di Indonesia berawal dari ide modifikasi cuaca atau hujan buatan yang diperkenalkan oleh Presiden Soeharto setelah melihat perkembangan pertanian di Thailand yang berhasil berkat bantuan modifikasi cuaca.
Pada tahun 1977, proyek percobaan hujan buatan dimulai di Indonesia dengan bantuan dari Thailand.