Edisi.co.id - Atas pertunjukan Syeikh Kahfi, walangsungsang bersama adiknya perasaan tank mendirikan pendukuhan (pemukiman) baru.
Pemukiman yang baru ini cepat sekali berkembang, Mata pencaharian penduduk pada waktu itu adalah membuat terasi dan peti yang sangat digemari oleh penduduk di tatar Sunda.
Pembuatan terasi dari udang rebon (udang kecil) dan diberi bumbu. Sedangkan pembuatan petis dari air (cai) udang rebon diberi bumbu jadi petis itu dibuat dari cai udang rebon.
Dari kata cai rebon inilah baru diberi nama Cirebon. Karena semakin banyaknya pedagang datang dari luar Cirebon untuk memberi terasi dan petis, Cirebon berkembang menjadi desa.
Pada tahun 1447, Cirebon resmi menjadi sebuah desa yang mendapat pengakuan Prabu Siliwangi.
Walangsungsang diangkat menjadi Kawu Cirebon dengan gelar pangeran cakra Buana.
Baca Juga: DPRD DIY Menyampaikan Pemandangan Umum Tentang Nota Keuangan RAPBD
Cirebon masih tetap menjadi wilayah kekuasaan Pajajaran dan diwajibkan setiap tahun membayar upeti berupa terasi satu pikul.
Pangeran cakra Buana melaksanakan pemerintahannya dengan menerapkan syariat Islam secara bertahap, karena penduduk belum seluruhnya beragama Islam.
Sebagai pusat pemerintahan, iya mendirikan keraton yang diberi nama Pekungwati. Nama ini diambil dari nama putrinya.
Atas nasehat Syeikh Kahfi, pangeran Cakra Buana dan adiknya Rarasantang melaksanakan ibadah haji. Penumpang kapal dagang asal Arab mereka sampai di Mekah. Di tanah suci Mekkah pangeran cakrabuana dan adiknya tinggal di rumah Seikh Abdullah sambil memperdalam ilmu agama.