Oleh: Khairunnas*
Sejak akhir 2019 dunia telah dihebohkan oleh kasus penyebaran coronavirus yang berawal dari kota Wuhan, China. Penularan virus yang menyebabkan penyakit Covid 19 itu secara cepat menyebar ke seluruh dunia.
Di Indonesia, kasus pertama diumumkan oleh pemerintah pada tanggal 2 Maret 2020. Pengumuman ini tak pelak menimbulkan kepanikan di seantaro negeri, terlebih infrakstruktur kesehatan Indonesia tertinggal jauh dari negera-negara maju, termasuk negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Namun, persoalan Pandemi Covid 19 bukan hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga mempengaruhi kehidupan masyarakat di bidang lainnya.
Sejak pemerintah mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal 16 Maret 2020, maka terjadi penurunan aktivitas masyarakat di berbagai bidang, seperti aktivitas ekonomi, aktivitas pendidikan dan aktivitas sosial lainnya.
Baca Juga: Ini Cara Aman dengan Bahan Alami Mengusir Nyamuk
Kondisi ini tentu saja berdampak langsung terhadap kondisi perekonomian sebagian besar keluarga Indonesia, karena terjadinya penurunan pendapatan atau bahkan ada yang sampai kehilangan pekerjaan.
Kebijakan pembatasan sosial mulai dari era PSBB hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1-4, telah berlangsung hampir dua tahun. Pembatasan kegiatan dalam waktu yang cukup lama ini tentu saja membuat kondisi perekonomian semakin tidak menentu.
Daya beli masyarakat tergerus, konsumsi rumah tangga terus menurun, dan banyak keluarga yang terancam jatuh miskin.
Kondisi ekonomi yang tidak menentu, berdampak cukup besar terhadap ketahanan keluarga.
Menurut data di berbagai pengadilan agama, terdapat lonjakan signifikan angka perceraian di masa pandemi Covid 19. Sebagian besar alasan perceraiannya adalah karena ketidakharmonisan yang disebabkan oleh masalah ekonomi dan keuangan.
Baca Juga: Tiba di Dermaga Kedatangan Pulau Pramuka Warga Diminta Tunjukkan Sertifikat Vaksin
Situasi ini mesti disikapi dengan baik oleh semua pihak, dengan menanamkan kembali konsep keluarga secara benar kepada setiap insan yang menikah atau yang akan menikah.
Dengan demikian, diharapkan, kondisi ekonomi bukan lagi menjadi alasan utama perceraian. Persoalan ekonomi dalam keluarga merupakan ujian, yang jika dilalui secara bersama-sama, akan lebih mudah diselesaikan, selama antara suami dan istri saling terbuka dan siap menanggung resiko bersama.
Masyarakat harus menyadari pernikahan merupakan ikatan suci di antara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir, pendidikan dan lain-lain.
Karena pernikahan itu ikatan suci, maka melaksanakan pernikahan juga harus dibingkai dengan niat suci, yaitu untuk beribadah kepada Tuhan YME, dan bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis. Bila menikah hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual semata, maka hal itu tidak ada bedanya dengan binatang.
Artikel Terkait
Perluasan Kiprah Santri, Wamenag: Santri Bisa Jadi Ulama, Pengusaha, Bahkan Presiden
Sidang Interpelasi tidak Kuorum, Prasetyo Edi: Bukti Ketidak Keberpihakan Anggota DPRD pada Warga