Edisi.co.id, Jakarta - Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) menghadiri Mudzakarah Hukum Nasional dan Hukum Islam dengan mengangkat tema “Kajian Kritis Atas 14 Isu Krusial RUU KUHP”. Acara diinisiasi oleh Bidang Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Gedung MUI Jl. Proklamasi Jakarta, Rabu (12/10/2022).
Persatuan Islam (PERSIS) pada acara ini diwakilkan oleh Direktur Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Drs. H. Yudi Wildan Latief. SH. MH., dan sekretarisnya Zamzam Aqbil Raziqin. S Sy. MH.
Direktur BKBH Drs.H. Yudi Wildan Latief. SH. MH., mengatakan, lahirnya Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923 di Indonesia membawa gagasan tentang Harakah Tajdid (Gerakan Pembaharuan) yang dalam manifestasinya melakukan purifikasi terhadap ritus yang melenceng dari nilai fundamental Islam, Harakah Tajdid Persis juga memiliki sisi politisnya dan ini dapat dilihat dari banyak kader Persatuan Islam yang ikut terlibat dalam pertarungan wacana kenegaraan.
Baca Juga: Pemerintah Optimis Dalam Waktu Dekat Indonesia Punya Hukum Pidana Nasional Sesuai Pancasila
“Spirit politis Persatuan Islam (PERSIS) memiliki dimensi total internalisasi nilai profetik dan syariah hadir harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sudah menjadi konsekuensi historis dan teologis bahwa Persatuan Islam (PERSIS) hari ini pun masih berdiri mengawal setiap kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan agar tidak bertentangan dengan nilai syariat Islam,” kata Yudi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/10)
Lebih lanjut Yudi menegaskan, pada acara tersebut BKBH Persatuan Islam (PERSIS) menyorot dan menanggapi beberapa point pasal.
Berikut ini poin-poinnya.
1. Pasal 2 dan Pasal 597 tentang Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
Dalam point ini BKBH Persis bersepakat dengan semangat mempertahankan nilai kultural Dari hukum yang berkembang di masyarakat dengan menggeser paradigm unifikasi hukum ke dalam pluralism hukum. Namun terdapat catatan dalam Pasal 2 Ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab”.
Baca Juga: Ketua MUI: Hasil Kajian Mudzakarah Nasional RUU KUHP akan Disampaikan ke Pemerintah
Kami menilai bahwa standarisasi UUD NRI Tahun 1945, HAM dan asas umum yang diakui masyarakat beradab sudah terangkum semuanya dalam pancasila. Selain itu standarisasi HAM dan peradaban hari ini bertumpu pada worldview sekuler barat yang justru ini bisa merusak nilai adat yang khas akan lokalitas normanya. Bahkan UUD NRI Tahun 1945 sekalipun menerangkan secara spesifik tentang HAM dalam Pasal 28 dan ini dikhawatirkan menggunakan cara pandang sekuler barat yang nantinya bertentangan dengan masyarakat adat. Kekhawatiran ini berdasar pada teori abjeksi dari Julia Kristeva yang menerangkan bahwa sesuatu yang tidak sesuai dengan modernitas (sekuler barat) itu bisa dianggap yang liyan dan akhirnya tidak terdokumentasikan. Dengan standar UUD NRI Tahun 1945, HAM dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab alih-alih menjaga warisan hukum leluhur adat namun yang terjadi adalah pemaksaan standar sekuler barat. Oleh sebab itu, pancasila sebagai volksgeit yang menyerap saripati nilai masyarakatlah yang paling tepat untuk menjadi tumpuan dan acuan penggunaan hukum adat di wilayah adat tersebut.
2. Pasal 67,98,99,100,101 dan 102 tentang Pidana Mati
Pidana mati merupakan mekanisme hukum yang paling purba di dunia, manusia selalu berkreasi tentang hukuman sepanjang nalarnya berkreasi tentang sesuatu, awalnya hukuman mati menggunakan batu, hingga peradaban menemukan alat tajam yang dapat dijadikan barang untuk mengeksekusi si terpidana, lantas menemukan bubuk mesiu dan akhirnya hukuman dengan tembak mati, menemukan obat untuk menghilangkan nyawa secara perlahan. Namun pada pointnya, dalam konteks peradaban hukuman, maka yang dipertontonkan adalah mencari cara agar hukuman mati tidak menyakitkan. Dalam islam. Allah SWT menggunakan skema pemaafan dan diyat terlebih dahulu untuk memberikan hukuman mati. Maka dalam konteks pidana mati menjadi pidana alternative dalam pasal 98, BKBH Persis menyepakatinya karena ini selaras dengan prinsip nilai syariat islam.
Artikel Terkait
Ketua Umum PERSIS Dr. Jeje Zaenudin Ajak Jemaah dan Badan Otonom Bersatu Bangun Jamiyyah Ini
Tragedi Kanjuruhan, PERSIS Minta Pemerintah dan Pihak Terkait Bertanggung Jawab Atas Insiden Ini
Bersama Tasykilnya, Ketum PERSIS Kiai Jeje: PERSIS ingin Berkontribusi Besar Lagi Untuk Kemaslahatan Ummat
KH. Aceng Zakaria Harapkan PERSIS Kedepan Mampu Membangun Jamiyyah Seperti Bangunan Kokoh, Tidak Ada Kebocoran