Mengapa HPN 9 Februari

photo author
- Minggu, 5 Januari 2025 | 09:05 WIB
Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun
Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun

Dalam suasana itulah kongres wartawan yang diadakan di Surakarta pada 9 dan 10 Februari. Mereka menunjukkan keberpihakan, karena yakin media punya peran besar untuk menunjukkan sikap rakyat Indonesia, termasuk ke pihak luar yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu ditegaskan sikap wartawan ialah “Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa serta selalu mengingat akan Persatuan Bangsa dan Kedaulatan Negara”. Sehingga seperti juga unsur bangsa lainnya yang tengah berjuang mempertahankan negaranya yang tengah dijajah lagi, wartawan peserta kongres menempatkan diri sebagai pejuang sekaligus. Dan menyadari bahwa besarnya politik adu domba Belanda, mengingatkan bahwa dalam bekerja mereka harus memikirkan persatuan dan kedaulatan negara.

Poin lain hasil kongres adalah kesadaran bahwa para wartawan Indonesia yang hadir sudah memikirkan masalah percetakan dan penerbitan koran, sebagai alat produksi dan juga alat perjuangan. Sebab hanya melalui media mereka bisa terus menggelorakan perjuangan dan memberi informasi kepada masyarakat di berbagai pelosok yang juga coba dikuasai oleh Belanda. Berdirinya PWI ini kemudian kita ketahui diikuti dengan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) setahun kemudian di Yogya.

Berbagai catatan di atas menunjukkan magnitude peristiwa 9 Februari 1946 sebagai modal untuk menetapkannya sebagai Hari Pers Nasional dibandingkan dengan peristiwa lainnya, sebab tanggal itu bukan sekadar hari lahir PWI tetapi bersatunya seluruh wartawan untuk menyokong Republik Indonesia berusia jabang bayi yang terancam keberadaannya, agar dapat bertahan kukuh berdiri sebagai negara kesatuan seperti yang kita saksikan saat ini.

 ***

Dalam pertemuan yang dilakukan Dewan Pers untuk membahas Hari Pers Nasional atas usulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Independen (IJTI) dan dihadiri pemangku kepentingan, April 2018 lalu, sebagian besar peserta berpendapat bahwa sebaiknya organisasi wartawan dan pers lebih memikirkan tentang berbagai persoalan yang melanda jurnalisme saat ini. Mulai dari merosotnya performa media cetak dari sisi jumlah media, jumlah oplah, dan keuntungan, karena digerus news agregator; semakin dipinggirkannya etika jurnalistik atas nama rating, kecepatan memberitakan, dan menurunnya kualitas wartawan; semakin suburnya media siber tidak bermutu karena begitu mudah dan murah untuk mendirikannya, yang diikuti dengan semakin banyaknya orang mengaku wartawan yang sama sekali tidak dibekali pelatihan ketrampilan jurnalistik apalagi pemahaman Kode Etik Jurnalistik.

Wartawan adalah profesi intelektual yang bekerja bagi sebesar-besarnya kepentingan publik, dalam hal ini untuk mengontrol kekuasaan, menyampaikan informasi, mengajak mereka berpartisipasi dalam pengambil kebijakan dengan membuka ruang diskusi dengan pembuat kebijakan. Wartawan bukan politisi yang sibuk berpolitik, yang sibuk untuk menuding dan mencari-cari kesalahan orang, mempersoalkan yang tidak penting, karena rasa tidak suka atau cemburu.

Dewan Pers yang memiliki SDM dan anggaran terbatas seharusnya dibantu oleh konstituen agar kemerdekaan pers Indonesia dapat terpelihara sesuai dengan semangat reformasi, apalagi saat ini tengah digerogoti pihak-pihak yang mengaku wartawan tetapi tidak bekerja dalam koridor kode etik yang telah disepakati bersama oleh komunitas pers. Adapula upaya untuk mengamandenen UU Pers no 40 agar pers kembali ke dalam rezim izin dan sensor, dengan alasan kemerdekaan pers sudah kebablasan karena media mengungkap kebobrokan kinerja aparat eksekutif, anggota parlemen, maupun penegak hukum lainnya.

Sebagai organisasi terbesar dengan anggota mencapai sekitar 25.000 wartawan aktif PWI menjadi pendukung utama sertifikasi wartawan yang digagas Dewan Pers, telah mensertifikasi hampir 20.000 anggotanya, dari total sekitar 29.000 sertifikat yang telah dikeluarkan oleh Dewan Pers. PWI juga mendorong media yang dipimpin anggotanya untuk diverifikasi agar dipercaya baik oleh narasumber maupun mitra kerja. PWI juga melatih lebih dari 1000 anggotanya setiap tahun agar semakin profesional, berwawasan, dan menjunjung tinggi etika jurnalistik melalui Sekolah Jurnalisme Indonesia dan Safari Jurnalistik.**

(Tulisan ini merupakan hak jawab atas tulisan Leo S Batubara tahun 2018 di Kompas terkait Hari Pers Nasional. Karena Hendry Ch Bangun saat itu masih aktif di Kompas, digunakan nama Tribuana Said, Penasehat PWI Pusat. Data tentang sertifikati anggota PWI diperbaiki sampai kondisi akhir 2024 dan ada sedikit penambahan kalimat)

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ilham Dharmawan

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB
X