Kehidupan ekonomi seorang mualim Betawi tidak menonjol. Artinya cukup. Tapi kekayaannya tidak dikenal melimpah. Karena seorang mualim banyak yang terlahir dari seorang ayah yang juga seorang mualim yang hidupnya sederhana. Mereka lebih mementingkan ilmu. Kalau ada mualim yang kaya biasanya karena ayahnya adalah pedagang atau memiliki usaha seperti perkebunan dan yang lainnya.
Pada masanya mualim Betawi tidak banyak yang belajar ke Timur Tengah. Baru pada masa 1970-an para mualim mengirim anak mereka ke Mekah, Madinah, Kairo, dan tempat lainnya. Namun setelah anak-anak mualim kembali dari Timur Tengah dan berilmu tinggi, mereka tidak serta merta dipanggil mualim. Jadi sapaan mualim bagi masyarakat Betawil lebih terkait pengabdian, ketulusan, keshalehan selain tentunya kepakaran yang sudah terbukti sejak lama dan dirasakan oleh masyarakat Betawi.
Begitu juga mulai 1970-an setelah anak-anak mualim belajar atau mondok di Jawa atau Madura, setelah pulang mereka tidak langsung dipanggil mualim. Mula-mula dipanggil ustadz, lalu setelah mengabdi masyarakat dengan mengajar kitab kuning, banyak yang tidak dipanggil mualim, tapi kiyai. Dari sinilah awal mula masuknya sapaan kiyai di tanah Betawi. Bahkan saat ini panggilan kiyai lebih mendominasi di tengah-tengah masyarakta Betawi ketimbang mualim. Padahal mualim adalah produk genuine Betawi. Saatnya memanggil ulama Betawi dengan mualim.*
Artikel Terkait
Lima Pengakuan Sedekah Oleh: Syamsul Yakin Penulis Buku "Tafsir Ayat Ayat Puasa"
Syamsul Yakin, Nahkodai Ikatan Cendekiawan Betawi
Hadis dan Sejarah Salat Idul Fitri di Lapangan yang Umum Dilakukan di Indonesia
Sebaiknya Dahulukan Mengganti Puasa Ramadhan atau Puasa 6 Hari Syawal? ini 3 Penjelasannya
Ensiklopedi Betawi 8: 'Ustadz'