Edisi.co.id - Pagi itu aku membukan ponsel dan membaca komentar di foto yang baru aku unggah ke whatsapp. “Kok makin gendut aja sih? Kurangin makan dong!” tulisan seseorang disertai emoji tertawa. Dimata orang itu mungkin hanyak candaan biasa, tapi bagiku, itu lebih menyakitkan, Kata-kata it uterus terngiang dipikiranku, membuatku mualai meragukan diri sendiri dan secara perlahan mengurangi rasa percaya diriku.
Kejadian ini bukan hanya aku yang mengalaminya. Banyak orang, terutama para perempuan dn remaja, pernah menjadi sasaran body shaming, baik secara langsung maupun lewat media sosial seperti “Kok kulitmu gelap banget,kaya belum mandi ya?’ atau “Tinggi segitu, berat badan mu segitu aja?” sudah dianggap biasa di masyarakat sekitar. Sayangnya, banyak yang menganggap hal itu hanya bercanda bahkan bentuk perhatian.
Komentar Sepele, Dampak Tak Terlihat
Body shaming adalah perilaku mengomentari atau mengkritik seseorang berdasarkan penampilan fisiknya dengan tujuan menjatuhkan atau mempermalukan. Bentuknya bermacam-macam, muali dari sindiran tentang berat badan, tinggi badan, warna kulit, bentuk wajah, hingga ukuran tubuh. Hal ini bias terjadi diberbagai tempat, seperti di lingkungan keluarga sekolah, kantor, bahkan di ruang public seperti media sosial.
Berdasarkan data dari kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan Anak (KPPPA), sekitar 7 dari 10 remaja di Indonesia pernah mengalami body shaming. Sebagian besar dari mereka mengaku bahwa komnetar negative tersebut justru dating dari orang-orang terdekat seperti teman, keluarga, bahkan guru. Selain itu, riset dari lembaga safer Internet Day Indonesia menunjukkan bahwa body shaming termasuk dalam lima besar bentuk kekerasan verbal yang paling banyak terjadi di dunia maya.
Sayangnya, masih banyak yang belom menyadari bahwa body shaming sebenarnya termasuk kekerasan psikologis. Meskipun tidak meninggalkan bekas fisik yang tampak, dampak yang ditimbulkan bias sangat serius. Hal ini dapat menyebabkan masalah pada persepsi diri terhadap tubuh, gangguan pola makan, bahkan berujung pada depresi.
Kisah yang Tidak Ingin Diulang
Saya Ingat betul saat Masa SMP dulu. Tubuhku lebih besae dari anak anak lain. Setiap hari aku dijuluki “Balmon”,”Gendut”, dan “Bulet”. Awalnya saya tertawa tapi nyatanya itu sangat sedih, saya berusaha biasa saja. Tapi nyatanya itu membuat saya tidak percaya diri. Saya mualai membenci tubuh saya sendiri, dan saya menolak untuk makan. Rasa percaya diri saya Jatuh hingga ke titik terendah. Bahkan, sempat terpikir untuk tidak makan hanya takut menjadi bahan tertawaan.
Cerita ini mungkin trerdengar biasa bagi sebagian orang. Tapi bagi korban, body shaming bukan hal sepele. Ia bias mempengaruhi cara seseorang melihat dirinya sendiri dan bias meruka mentalitas untuk waktu yang cukup lama. Dalam kasus tertentu, korban bias mengalami depresi kronis, trauma hingga gangguan perilaku makan seperti anoreksia atau bulimia.
Budaya yang Kurang Etika
Mengangapa body shaming bias terjadi di sekitar kita? Jawabnya karena kita masih hidup di tengah budaya yang masih minim empati dan kesadaran etika dalam berbicara.banyak orang yang merasa memiliki hak untuk mengomentari penampilan fisik orang lain, seolah-olah tubuh seseurang adalah hal yang bias dinilai dan diberi cap sesuka hati oleh public.
Media massa sering kali memperkuat standra kecantikan yang sangat terbatas, yang menonjolkan tubuh yang ramping, kulit yang cerah, dan wajah yang professional. Akibatnya, masyarakat terbiasa berpikir bahwa hanya tipe tubuh tetrtentu yang layak disebut ideal, sementara bentuk tubuh lainnya dianggap kurang menarik atau tidak sempurna.
Etika Sebagai Kunci Utama
Body Shaming bukan sekadar masalah penampilam atau kecantikan, melainkan juga berkaitan dengan etika. Etika sendiri merupakan prinsip-prinsip yang mengatur cara kita bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain. Salah satu aspek pentingnya adalah bagaimana kita menyampaikan pendapat atau komentar dengan cara yang tidak menyakiti atau merendahkan orang lain.
Artikel Terkait
Seluruh Jemaah Terpisah Rombongan Sudah Diberangkatkan dari Madinah ke Makkah
Menjaga Batas, Menumbuhkan Empati: Pentingnya Etika dalam Pertemanan
Bali Mengajarkan Etika Dalam Diam
“Tamu di Tanah Baduy: Di Mana Langkah Harus Dijaga”
Waktu yang Tak Pernah Pulang: Catatan Seorang Freelancer Film tentang Etika Jam Kerja