Oleh : Dr. Sopian Mohammad
Pelaksanaan ibadah haji dan umrah, diawali dengan mengenakan pakaian ihram dan dilanjutkan dengan niat. Mengenakan pakaian ihram termasuk salah satu rukun ibadah haji/umrah. Sedangkan berniat ihram adalah wajib.
Orang yang tidak mengenakan pakaian ihram, tidak syah haji/umrahnya. Namun, seseorang yang tidak berniat ihram (karena lupa) masih bisa diteruskan ibadahnya asalkan bersedia membayar denda (dam).
Pakaian ihram lelaki berupa dua helai kain yang tidak dijahit. Sehelai dipakai untuk menutupi bagian bawah; antara pusat dan lutut. Sehelai lagi dibuat selendang. Bagi perempuan, kain ihram berwarna putih ini, harus menutupi semua badannya kecuali muka dan telapak tangan.
Baca Juga: Banyak Kata yang Kita Pakai, Tapi Kadang Nggak Tahu Artinya
Berdasarkan asal maknanya, ihram adalah mengharamkan atau melarang. Dalam konteks ibadah haji/umrah, ihram berarti suatu keadaan (perkara tertentu) yang dilarang atau diharamkan pada orang yang sedang mengerjakan haji/umrah: bermula ketika berniat mengerjakannya, berakhir ketika tahallul (bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan sa'i).
Mengenakan pakaian ihram tidak sebatas sebagai rukun haji/umrah tanpa makna. Mengenakan pakaian ihram dan berniat ihram merupakan simbolisasi yang mengandung pesan-pesan moral dan spiritual. Paling tidak, ada dua makna yang terkandung dari filosofi ihram: kesucian (purity) dan kesamaan (similarity).
Kesucian ihram tercermin dari warna (putih) pakaian yang dikenakan. Sebab putih merupakan falsafah kesucian, kebersihan. Dalam ihram juga harus menjaga kesucian niat atau keinginan terhadap sesuatu, selain mengharap keridhaan Allah Swt. Kesucian niat sejatinya tetap melekat dalam hati; tidak sebatas ketika berihram atau berhaji/umrah, melainkan pula saat menjalani kehidupan sehari-hari (pasca haji/umrah).
Simbolisasi lain dari ihram adalah kesamaan. Kesamaan yang dimaksud bukan cuma tercermin dari model dan warna pakaian, tetapi kesamaan dalam niat serta berbagai perkara yang hendaknya dilakukan dan dijauhi (terlarang) selama berhaji/berumrah. Semua kesamaan tersebut semata-mata demi mengikuti perintah Allah Swt dan tuntunan Rasulullah Saw. Namun, mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, bukan hanya di kala menunaikan ibadah haji/umrah, melainkan harus diejawantahkan dalam kehidupan pasca haji/umrah.
Kaum muslimin yang tengah atau telah berhaji/umrah hendaknya memahami makna “kesamaan” ini. Kesamaan yang hakikatnya bermuara dari landasan iman dan takwa. Jadi, sungguh keliru seandainya perbedaan tingkat pendidikan, profesi, jabatan, status, atau kelas sosial dan ekonomi, membuat seorang muslim merasa “berbeda” dengan muslim lainnya, sehingga kesenjangan pun terjadi. Setiap muslim seharusnya menunjukkan “kesamaan” sebagai sesama muslim. Bukan malah sengaja memperlihatkan “perbedaan” yang hanya didasari atribut-atribut duniawi tadi.
Begitu pula dengan predikat “haji” atau “hajjah” bagi orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Ada saja, bahkan tidak sedikit dari mereka yang senang atau malah ingin dipanggil “haji/hajah”. Alasannya, mungkin karena dalam kultur kita, predikat haji atau hajah menjadi suatu atribut yang dianggap melambangkan tingginya tingkat ke’aliman atau kesalehan, status sosial atau ekonomi seseorang.
Jika para alumni haji ingin dipanggil haji atau hajah dengan alasan seperti itu, maka hal ini telah menyalahi pesan moral dan spiritual yang terkandung dari makna ihram. Baik pesan mengenai makna “kesamaan” maupun “kesucian”.
Artikel Terkait
KIAS Travel Resmi Launching, Siap Sinergi Majukan Ekosistem Travel Umrah dan Haji
Songsong Transformasi Umrah 1447 H, Ini Harapan CEO KIAS Travel, Muhammad Khairi: Inovasi Saudi, Kesempatan Kita
Usai Musim Haji, KIAS Travel Adakan Umroh Awal Musim 1447 H:Catat Tanggalnya!
Menutup Layar “Tidung Green Wave”: Hari Penuh Makna dalam
KIAS Travel Tawarkan Konsep Konsorsium, Dorong Kolaborasi antar Travel Umroh untuk Perluas Jaringan dan Tingkatkan Layanan
Jelang Keberangkatan Umroh Perdana Awal Musim 10 Agustus 2025, KIAS Travel akan Gelar Manasik Umroh