Namun, penerapan royalti jurnalistik bukan perkara sederhana. Sebab, UU Pers saat ini mengatur bahwa pengutipan cukup dilakukan dengan menyebutkan sumber. Bila sistem royalti diberlakukan, maka pasal tersebut perlu diperluas atau diubah agar tidak bertentangan dengan semangat kebebasan pers dan hak publik atas informasi.
Dewan Pers dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers maupun Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) telah menegaskan pentingnya partisipasi publik dalam proses revisi. Pengalaman revisi UU Penyiaran jadi pelajaran: draf yang tidak transparan bisa mengancam kemerdekaan pers.
Revisi harus melibatkan jurnalis, media, dan masyarakat sipil agar adil dan proporsional, agar perlindungan hak cipta tidak berubah menjadi alat pembatasan informasi.
Dari Penghargaan ke Keseimbangan
Royalti karya jurnalistik sejatinya bukan untuk membungkam akses publik, melainkan mengembalikan nilai intelektual dan ekonomi jurnalisme yang kini sering diabaikan. Dunia maya telah menjadikan karya berita begitu mudah disalin, dibagikan, dan dimonetisasi pihak ketiga tanpa imbalan bagi pembuatnya.
Jika revisi ini berhasil dirumuskan secara transparan dan partisipatif, Indonesia akan memasuki fase baru --era penghargaan yang adil bagi kerja jurnalistik.
Mengutip bukan lagi sekadar urusan etika dan sopan santun, tetapi juga tentang keadilan ekonomi. Sebab di balik setiap berita yang kita baca, ada waktu, tenaga, dan keberanian manusia yang pantas dihargai lebih dari sekadar sebaran tautan.***
Artikel Terkait
Pengurus AMKI Pusat Audiensi ke BPSDM Hukum Kemenkum
Pengurus AMKI Jabar Kunjungi AMKI Pusat, Perkuat Kolaborasi Media Konvergensi
Ketua Umum AMKI Sesalkan Pencabutan Kartu Liputan Reporter CNN Indonesia di Istana
Kunjungan Pengurus AMKI Pusat ke Kedubes Timor Leste Perkuat Diplomasi Budaya dan Bisnis
AMKI Siap Jadi Mitra Strategis MPR RI dalam Sosialisasi Kebangsaan
AMKI Jabar Kenalkan Platform Digital kepada Kapendam III/Siliwangi