Dalam tinjauan sosiolinguistik, bahasa adalah alat identitas kelompok. Saat kita ikut-ikutan memakai diksi kasar untuk menyerang fisik seorang tokoh, kita sebenarnya sedang berteriak kepada kelompok kita:
"Lihat, aku bagian dari kalian karena aku membenci orang yang sama!" Bahasa benci telah menjadi "lencana" yang merekatkan kelompok, namun di saat yang sama, menghancurkan jembatan dialog.
Kita terjebak dalam lingkaran setan di mana menghina fisik lawan dianggap sebagai sebuah "keberanian". Padahal, ini adalah ilusi kemenangan. Kita merasa menang di kelompok kecil kita, namun secara kolektif, kita sedang memperdalam jurang permusuhan bangsa dan mewariskan budaya debat yang sangat dangkal kepada generasi mendatang.
4. Dampak Kelumpuhan Nalar Publik
Jika racun diksi ini terus dibiarkan, dampaknya bukan hanya pada personal yang dihina, melainkan pada kualitas demokrasi kita.
Ketika kritik terhadap kebijakan tenggelam oleh bisingnya makian fisik, para pembuat kebijakan tidak lagi merasa perlu mempertanggungjawabkan data mereka. Mereka cukup membangun citra fisik yang baik atau menyerang balik dengan diksi yang sama kasarnya.
Akhirnya, substansi masalah—seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan—terabaikan karena energi publik habis untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting. Sebuah bangsa tidak akan pernah menjadi besar jika rakyatnya masih sibuk memaki penampilan fisik pemimpinnya, sementara masa depannya sendiri sedang dicuri karena kita terlalu sibuk bertengkar soal "muka".
Mengembalikan Kewarasan Publik
Kita harus jujur: Menyerang fisik atau identitas seseorang adalah jalan pintas ketika berpikir terasa melelahkan. Meracuni diksi itu mungkin memuaskan secara emosional, namun mematikan secara intelektual. Nalar lumpuh, martabat runtuh.
Mari berhenti sejenak sebelum jempol kita bergerak. Tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya sedang mengkritik kebijakan yang keliru, atau saya sedang menghina ciptaan Tuhan? Mari kita hentikan penggunaan kata-kata menghina dan kembali menyebut orang lain dengan nama atau jabatannya secara terhormat. Menuntut perbaikan bangsa harus dimulai dengan menuntut diri sendiri untuk berargumen berdasarkan fakta, bukan sekadar luapan benci yang tidak berdasar.
Mari kita buang racun itu, dan mulai berbicara kembali sebagai manusia yang berakal. Sebab pada akhirnya, kualitas sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas percakapan warga negaranya.***
Artikel Terkait
FWK : Pejabat jangan Anti kritik, Pers Hadir untuk Kepentingan Publik
Yayasan Amalia Astra Gelar Happy Trip 2025 di Ancol, Libatkan 1.064 Anak Yatim dan Dhuafa
110 Warga Terdampak Kebakaran di Kapuk Muara, PMI Jakarta Utara Salurkan Bantuan
Berenang Sendiri Selamatkan 20 Korban Banjir di Tamiang, Sertu Giman: Saya Hampir Pingsan, Tapi Allah Beri Kekuatan
Bayi Satu Bulan Selamat, Ibu di Aceh Tamiang Kenang Momen Heroik Personel TNI Sertu Giman