Oleh: Yons Achmad
(Praktisi Komunikasi, tinggal di Depok)
Reporter sebuah stasiun televisi ternama tergopoh-gopoh masuk ruangan dikuti oleh sang kameramen. Ceritanya, mau wawancara dengan seorang profesor (seorang pengamat militer). Nasib. Mereka kejebak macet, terlambat dari waktu yang telah disepakati bersama. Kabar baiknya masih diterima walau kena omelan. “Jurnalis nggak boleh terlambat apapun alasannya,” katanya.
Tak lama kemudian wawancara berlangsung. Pertanyaan pertama, “Prof kabarnya panglima sengaja dipersiapkan presiden agar bisa jadi capres atau cawapres berikutnya, bagaimana tanggapan Prof? Pertanyaan biasa saja. Tapi tidak bagi sang profesor.
“Kata siapa? Siapa yang bilang begitu? Sumbernya dari mana? Saya nggak mau nanggepin rumor.” Pertanyaan dijawab pertanyaan. Sang reporter kaget, tampak jadi agak bingung.
Saya yang dulu masih bekerja jadi staf di kantor itu hanya tersenyum saja. Selanjutnya, sang reporter bersama kameramen disemprot, diceramahin habis-habisan.
Maklum, sang profesor dulunya wartawan juga. Sudah kenyang dan pernah malang melintang di dunia pers. Sang profesor tetap tak mau berkomentar tentang rumor itu, walau sebenarnya dia tahu sumbernya.
Ini pelajaran berharga betul. Media memang tak sepantasnya beritakan rumor-rumor, sebab yang muncul kemudian adalah informasi yang tidak jelas. Hanya menghadirkan kegaduhan semata.
Baca Juga: 8 Tahun Perjalanan Usaha, CV Dirgantara Sejahtera Bersama Adakan Gathering untuk Keluarga dan Team
Perkara rumor, orang sering mengartikan sebagai isu yang berkembang dari mulut ke mulut. Sayangnya, kita tidak pernah tahu dari mana sumber (utamanya). Sang professor itu dalam dunia media dan pers memberikan pelajaran berharga bagaimana rumor memang seharusnya tidak tayang di media sebagai berita. Semuanya itu tentu untuk menghadirkan jurnalisme yang lebih bermutu. Berbasis fakta, bukan rumor atau kabar tidak jelas.
Bahkan, dalam “ceramahnya” waktu itu, sang professor juga wanti-wanti ke sang reporter (jurnalis). Misalnya kalau ada berita, sepenting apapun, tapi kalau ketika disiarkan berpotensi mendatangkan konflik, maka sebaiknya berita itu tak usah ditayangkan.
Dalam kehidupan keseharian, rumor sepertinya juga perlu disikapi dengan hati-hati. Edi Santoso dalam buku “Sketsa Etika Komunikasi”, mengutip penelitian Ralf Sommerfeld dari Max Planck Institute menyimpulkan temuan menarik. Bersama timnya, dengan serangkaian penelitian simulasi komputer dan partisipasi dari berbagai orang, diungkapkan bahwa rumor ternyata lebih besar pengaruhnya dalam menilai seseorang dibandingkan observasi langsung.
Orang-orang yang sudah mendengar rumor akan memiliki pandangan yang buruk terhadap sosok tertentu, walaupun sosok tersebut ternyata tidak memiliki salah sedikitpun.
Konon, rumor mungkin tidak bisa dihilangkan, tapi bisa dikendalikan, saya percaya ini. Salah satunya dengan bantuan prinsip “The Test of Three-nya” Socrates. Suatu ketika dia kedatangan seseorang yang ingin menceritakan, lebih tepatnya ingin menyampaikan kabar buruk terhadap muridnya.
Socrates bilang, “Tunggu sebentar, sebelum kamu bercerita, saya ingin ajukan tiga pertanyaan. Ini disebut “The Test of Three”.
“Ini tentang kebenaran (Truth), Apakah kamu yakin bahwa apa yang kamu sampaikan itu memang benar?”
Artikel Terkait
Isi dan Makna Dasa Darma Pramuka: Landasan Nilai-Nilai Mulia dalam Pembentukan Karakter
Kepala Pusing Usai Santap Daging: Apa yang Mendasarinya dan Bagaimana Mengatasinya
Gigitan Ular Berbisa Sering Curi Perhatian, Ini Dia Pertolongan Pertama yang Harus Dilakukan
Dari Sesak Napas Jadi Terbahak-bahak: Kini Kata Bengek Punya Makna Baru di Media Sosial
Baldan Fathullah, Ketua Forum Taman Baca Masyarakat Kota Depok Berikan Pencerahan di Festival Buku Depok 2023