Oleh: Novita sari yahya
Edisi.co.id - Saya langsung menyatakan bersedia ketika diminta memberikan kata sambutan pada peringatan berdirinya sebuah media di Indonesia. Kesediaan itu tidak sekadar formalitas. Ada alasan sederhana yang menuntun saya menjadi penulis dan bergabung dengan dunia media. Alasan itu muncul dari cerita ayah saya. Sebelum menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran pada tahun 1955, ia bercita-cita menjadi wartawan. Alasannya tidak rumit: ia ingin keliling dunia, dan baginya profesi wartawan memungkinkan mimpi itu terwujud.
Cerita itu melekat dalam ingatan saya. Semakin saya memahami perjalanan sejarah bangsa, semakin saya menyadari bahwa banyak pendiri bangsa kita—Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir dan yang lainnya adalah penulis aktif di media. Mereka bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga wartawan, pemikir, dan perumus gagasan yang disebarkan melalui tulisan. Perdebatan pada masa itu berlangsung melalui artikel, surat kabar, dan buku. Setiap gagasan diuji, dipertimbangkan, lalu dijawab melalui tulisan lain. Tradisi ini berlangsung sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga pemerintahan awal Republik.
Namun, zaman berubah. Kini perdebatan publik berpindah ke media sosial, terutama Twitter. Di sana, setiap orang bisa berpendapat, tetapi tidak semua mau berpikir. Karlina Supelli pernah mengatakan bahwa perdebatan di Twitter bukanlah dialektika. Otak manusia berdialektika ketika menulis dengan struktur, bukan ketika bereaksi spontan. Itulah sebabnya perdebatan di media sosial sering berakhir dengan saling merendahkan dan memaki. Bahkan, seorang profesor bisa berdebat panjang dengan seseorang yang hanya ditugaskan menjadi buzzer, dan akhirnya yang tersisa adalah ejekan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tulisan masih menjadi ruang paling memungkinkan untuk perdebatan intelektual. Menulis memaksa seseorang menyusun argumen, berpikir jernih, dan memahami sudut pandang yang berbeda. Menurut psikologi, menulis juga membantu meredakan luka batin yang tidak terlihat, menurunkan ambisi berlebihan, dan menyusun kembali pengalaman hidup.
Bung Hatta pernah berkata, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Dari ruang penjara lahir pemikiran tajam. Begitu pula Soekarno, yang menulis Di Bawah Bendera Revolusi sebagai rangkaian pemikiran yang ditempa dalam tekanan sejarah. Tulisan-tulisan itu menjadi pengetahuan bagi masyarakat hari ini.
Pengalaman pribadi mengajarkan saya makna menulis. Saya pernah mencari rekam jejak pemikiran kakek saya, dr. Sagaf Yahya. Beliau pendiri Partai Parindra cabang Jambi pada tahun 1940, pejuang kemerdekaan yang dipenjara Jepang selama tiga tahun, hingga akhirnya menjadi residen Jambi pertama. Namun, rekam jejak pemikirannya sulit ditemukan karena tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan dan buku. Dari situ saya memahami bahwa seseorang bisa memiliki peran penting, tetapi tanpa tulisan ia mudah hilang dari sejarah.
Pengalaman itu menggerakkan saya mulai menulis. Bukan untuk mencari penghargaan, tetapi agar gagasan saya terdokumentasi dan dapat dikenang oleh anak cucu saya. Beberapa tulisan saya bahkan sudah dibukukan. Ini bukan sekadar upaya pribadi, tetapi bagian dari kesadaran bahwa tulisan memberi jejak panjang bagi siapa pun yang ingin meninggalkan sesuatu bagi generasi berikutnya.
Dalam konteks kepemimpinan bangsa, tulisan sangat penting. Pemimpin dapat dinilai melalui gagasan yang ia tuangkan dalam tulisan. Publik dapat memahami arah pikirannya, cita-citanya, serta bagaimana ia merumuskan kebijakan. Jahja Datoek Kajo melakukan hal itu di Volkraad; tulisan-tulisannya kemudian dikumpulkan sejarawan dalam buku Kelah Sang Demang, sehingga generasi berikut dapat mempelajari pemikirannya.
Tantangan Literasi di Era Digital
Dalam kehidupan hari ini, tantangan literasi menjadi semakin serius. Kita hidup di tengah derasnya arus informasi, tetapi tidak semua informasi memberi kedalaman. Banyak orang lebih memilih membaca judul tanpa memahami isi. Media sosial yang singkat membuat perdebatan menjadi dangkal. Kita sering melihat pertengkaran antarpengguna yang berakhir dengan tindakan membully. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga merambah dunia pendidikan.
Kasus perundungan di sekolah meningkat, begitu pula tekanan psikologis pada remaja. Sebagian kasus ekstrem bahkan berujung pada tindakan menyakiti diri sendiri. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi ruang tumbuh, justru berubah menjadi ruang yang penuh kekerasan verbal. Sementara itu, budaya membaca dan menulis tidak tumbuh dengan baik. Anak-anak terbiasa mengekspresikan diri dengan cepat dan emosional di media sosial tanpa kemampuan menyusun kalimat dengan baik.
Saya melihat perlunya memasukkan pendidikan sastra dan seni ke dalam kurikulum sekolah. Anak yang terbiasa menulis baik cerpen, puisi, ataupun esai akan lebih terlatih mengekspresikan emosi secara sehat. Menulis adalah terapi. Menulis memberi ruang untuk memahami pengalaman dan meredakan beban psikologis.
Peran Media dalam Membangun Masyarakat Literat