artikel

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB
Rukmana, Redaktur Pelaksana Media Sudut Pandang dan Ketua Bidang Hukum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat.

Oleh Rukmana

Edisi.co.id - Di tengah ikhtiar menuntaskan studi Magister Hukum, saya kembali dihadapkan pada satu ruang ujian yang tak kalah menegangkan, yakni Uji Kompetensi Wartawan (UKW) jenjang utama tingkat Pemimpin Redaksi. Selama dua hari, Jumat-Sabtu, 12-13 Desember 2025, di Hall Dewan Pers Jakarta, ruang itu menjadi jeda reflektif di antara rutinitas akademik dan kerja jurnalistik yang selama ini saya jalani. Bukan semata soal dinyatakan kompeten atau tidak, melainkan tentang menakar kembali sejauh mana saya masih layak menyebut diri sebagai wartawan.

UKW kerap dipersepsikan sebagai prosedur administratif syarat formal untuk naik jenjang atau mengantongi sertifikat. Namun pengalaman mengikuti UKW yang difasilitasi Dewan Pers kali ini kembali mengingatkan saya bahwa profesi wartawan, betapapun panjang usia pengalamannya, selalu menuntut pembaruan sikap, ketajaman nalar, dan kedisiplinan etik.

Sebanyak 36 peserta hadir dari beragam latar organisasi, mulai dari PWI, AJI, PFI, IJTI, hingga perguruan tinggi. Mereka merupakan wartawan lintas platform—media cetak, siber, radio, dan televisi—yang masing-masing membawa cerita, ego, serta rekam jejak profesional. Di ruang uji, seluruh jurnalis dilebur dalam satu standar etik dan profesional yang sama, tanpa privilese masa lalu. Meski demikian, pengujian dirancang berbeda sesuai platform media yang digeluti, dengan parameter yang disesuaikan dengan karakter dan praktik jurnalistik di masing-masing medium.

Proses penilaian berlangsung ketat dan terperinci. Hal-hal yang kerap dianggap sepele dalam praktik keseharian, mulai dari penggunaan titik dan koma, pilihan diksi, kata sambung, hingga kepatuhan pada KBBI tak luput dari perhatian. Pada jenjang utama, pengujian tidak berhenti pada kecakapan teknis menulis. Ia merambah wilayah yang lebih mendasar, bagaimana rapat redaksi dijalankan, bagaimana sebuah isu dianalisis, bagaimana tajuk rencana dirumuskan, dan yang paling krusial, bagaimana Kode Etik Jurnalistik dipahami serta diterapkan dalam setiap keputusan redaksional.

Saya mencatat dengan saksama cara para penguji menggali proses berpikir peserta. Direktur Lembaga Uji Kompetensi PWI, Aat Surya Safaat, dengan pengalaman panjang di LKBN ANTARA, termasuk sebagai Kepala Biro New York, menunjukkan bahwa profesionalisme jurnalistik tidak lahir dari hafalan teori, melainkan dari kebiasaan bersikap. Objektivitas dan ketegasan dalam penilaian justru menjadi pelajaran tersendiri, wartawan harus siap diuji, bahkan oleh standar yang selama ini ia banggakan sendiri.

Baca Juga: KAI Daop 6 Yogyakarta Siap Layani 1,04 Juta Penumpang Selama Nataru 2025/2026: Siagakan 342 Petugas

Bagi saya pribadi, UKW menjadi pengingat akan titik mula. Karier jurnalistik saya berawal pada 2006 di media komunitas di Kalimantan Barat, sebuah ruang belajar yang mengajarkan kedekatan dengan warga dan kejujuran pada fakta. Bertahun-tahun kemudian, dengan pengalaman lintas liputan dan jabatan, godaan terbesar justru datang dari rasa “sudah tahu”. UKW mematahkan ilusi itu. Ia memaksa kita kembali ke meja dasar untuk memeriksa ulang nalar, etika, dan tanggung jawab sosial.

Integritas di Tengah Tekanan Zaman

Di situlah UKW menemukan relevansinya. Di tengah lanskap media yang kian kompleks dengan tekanan kecepatan, klik, dan polarisasi uji kompetensi menjadi pagar pengingat bahwa kepercayaan publik adalah modal utama jurnalisme. UKW bukan sekadar tes pengetahuan, melainkan pengujian integritas: sejauh mana wartawan memegang objektivitas, kejujuran, kebenaran, serta penghormatan terhadap privasi dan martabat manusia.

Sebagai Ketua Bidang Hukum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat, saya melihat langsung tantangan hukum dan etik yang dihadapi media. Sengketa pemberitaan, misinformasi, hingga kriminalisasi jurnalis kerap berakar pada praktik yang mengabaikan standar profesional. Dalam konteks itu, UKW menjadi salah satu instrumen penting, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memastikan fondasi profesi tetap kokoh.

Ucapan selamat yang datang dari berbagai pihak, termasuk dari Humas Taipei Economic and Trade Office (TETO), Mepi Lin, saya terima dengan rasa syukur. Namun kelulusan bukanlah garis akhir. Ia justru menjadi pengingat untuk bekerja dengan lebih rendah hati. Sertifikat kompeten tidak otomatis membuat karya kita benar, ia hanya menegaskan komitmen untuk terus memeriksa diri.

Pada akhirnya, UKW mengingatkan bahwa menjadi wartawan bukanlah status yang pernah selesai, melainkan proses belajar seumur hidup. Di antara logika hukum yang terus diasah dan kerja jurnalistik yang menuntut kepekaan nurani, ujian sesungguhnya terletak pada kesetiaan menjaga etika, bahkan ketika tak ada yang mengawasi. Dari sanalah harapan jurnalisme tumbuh pada martabat profesi yang dirawat setiap hari melalui berita yang jujur, berimbang, dan bertanggung jawab.

*Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Sudut Pandang dan Ketua Bidang Hukum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat.

Tags

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB

Presiden Prabowo, Duka Sumatera Duka Bangsa Indonesia

Minggu, 7 Desember 2025 | 13:33 WIB