Jamkesda dirancang sebagai jaring pengaman bagi masyarakat miskin yang belum terjangkau skema nasional. Namun, sejak awal, Jamkesda mengandung keterbatasan struktural. Pendekatan berbasis kuota dan definisi kemiskinan yang sempit menyebabkan banyak kelompok rentan tidak terlindungi. Mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan kerap tidak memenuhi syarat administratif, padahal kelompok inilah yang paling mudah jatuh miskin akibat guncangan kesehatan.
Selain itu, Jamkesda lebih berorientasi pada pembiayaan layanan kuratif. Upaya promotif dan preventif belum menjadi fondasi kebijakan. Akibatnya, intervensi sering datang terlambat, ketika kondisi kesehatan sudah memburuk dan biaya yang diperlukan menjadi jauh lebih besar.
Pengalaman Jamkesda menunjukkan bahwa kebijakan kesehatan yang tidak berbasis hak dan tidak terintegrasi secara nasional akan selalu menghadapi persoalan keberlanjutan dan ketimpangan antarwilayah.
Garis Kemiskinan dan Kehilangan Pilihan Hidup
Dalam diskursus kemiskinan, Vivi Alatas, mantan ekonom senior Bank Dunia, berulang kali menekankan bahwa garis kemiskinan bukan sekadar angka statistik. Garis kemiskinan mencerminkan standar hidup minimum yang dianggap layak oleh suatu negara.
Perbedaan antara garis kemiskinan ekstrem dan garis kemiskinan moderat menggambarkan fungsi yang berbeda. Garis kemiskinan ekstrem digunakan untuk mengukur kelompok yang berada pada batas bertahan hidup, dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan kalori minimum. Sementara itu, garis kemiskinan moderat bertujuan menangkap kelompok yang secara statistik tidak miskin, tetapi sangat rentan terhadap guncangan ekonomi dan kesehatan.
Untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia, Bank Dunia menggunakan standar yang lebih tinggi dibandingkan negara miskin. Pembaruan terbaru menunjukkan bahwa standar kesejahteraan yang relevan bagi negara seperti Indonesia berada jauh di atas batas bertahan hidup minimum. Vivi Alatas menegaskan bahwa penggunaan standar terlalu rendah berisiko menghasilkan kebijakan yang tidak inklusif, karena jutaan orang yang hidup dalam kerentanan tidak terhitung sebagai miskin dan karenanya tidak terlindungi.
Standar BPS dan Realitas Biaya Hidup
Badan Pusat Statistim ( BPS ) secara konsisten menggunakan pendekatan kebutuhan dasar dengan penyesuaian terhadap inflasi dan perubahan harga.
Namun, persoalan muncul ketika standar tersebut dibandingkan dengan realitas biaya hidup masyarakat, terutama di wilayah perkotaan. Garis kemiskinan nasional per Maret 2025 berada pada kisaran Rp609.160 per kapita per bulan. Angka ini secara metodologis sah, tetapi secara substantif sering dipertanyakan karena dianggap belum mencerminkan kehidupan layak.
Perbedaan antara standar nasional dan standar internasional menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan bukan semata soal metodologi statistik, melainkan soal keberanian politik untuk mengakui luasnya kerentanan sosial.
Kematian Ibu sebagai Cermin Ketimpangan
Salah satu indikator paling nyata dari kemiskinan struktural adalah tingginya angka kematian ibu.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih menjadi tantangan kesehatan utama. Pemerintah menargetkan AKI 183 per 100.000 kelahiran hidup pada 2024 sesuai RPJMN, tetapi data awal menunjukkan masih jauh dari target, dengan sekitar 4.150 kematian ibu pada 2024 tercatat oleh Kemenkes, yang menunjukkan kesenjangan besar dalam pencapaian target nasional. Penyebab utama kematian ibu meliputi komplikasi kehamilan dan persalinan seperti perdarahan, hipertensi, dan kondisi non-obstetrik. Penurunan AKI memerlukan peningkatan layanan antenatal, akses rujukan cepat, serta deteksi dan penanganan komplikasi secara dini di fasilitas kesehatan.
Hingga tahun 2024, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam menurunkan Angka Kematian Ibu. Target nasional yang ditetapkan dalam RPJMN belum sepenuhnya tercapai, dengan ribuan kematian ibu masih terjadi setiap tahun.