Oleh : Siti Aisyah/Mahasiswi PBA UIN Syarif Hidayatullah
Pernahkah kita menyadari betapa murahnya harga sebuah argumen di ujung jempol kita hari ini? Saat sebuah kebijakan publik dilempar ke ruang digital, alih-alih menemukan perdebatan cerdas soal dampak ekonomi atau keadilan sosial, kita justru disuguhi pemandangan memprihatinkan: serbuan makian terhadap bentuk wajah, warna kulit, hingga gaya bicara sang tokoh.
Pertanyaannya menusuk harga diri kita: Mengapa kita lebih bernafsu menyerang "kepala botak" seseorang daripada ide yang keluar dari kepala itu?
Jawabannya ada pada "Racun Diksi"—sebuah strategi bahasa yang dirancang untuk membunuh karakter, bukan mengoreksi kekeliruan. Tanpa sadar, kita kerap terjebak dalam tiga perangkap racun bahasa yang melumpuhkan nalar publik.
1. Dehumanisasi: Mengubah Manusia Menjadi Hama
Secara semantik, kata adalah cermin pikiran. Ketika kita melabeli lawan politik dengan sebutan binatang atau benda, kita sebenarnya sedang melakukan "kejahatan" linguistik.
Contohnya, penggunaan kata "tikus" atau "serangga". Dalam kamus bawah sadar, itu adalah hama yang harus dibasmi.
Dengan melabeli manusia sebagai "hama", kita secara otomatis menutup pintu nalar; ia dianggap tidak perlu didengar idenya, melainkan hanya perlu "diinjak".
Inilah racun pertama: kita membunuh kemanusiaan seseorang lewat kata-kata sebelum sempat berdebat dengan pikirannya. Merendahkan derajat manusia adalah cara tercepat untuk melegitimasi kebencian tanpa rasa bersalah.
2. Teror Emosi: Provokasi yang Menyamar Jadi Diskusi
Dilihat dari sudut pandang pragmatik, ujaran kebencian sering kali tidak memiliki tujuan mencari solusi. Tujuannya tunggal: memicu amarah dan rasa jijik. Perhatikan kolom komentar di media sosial kita; isinya dipenuhi kata-kata yang memicu "ledakan" emosional, bukan data.
Mengetik huruf kapital dan caci maki terasa jauh lebih mudah daripada harus membedah kerumitan data anggaran atau pasal-pasal undang-undang.
Fenomena ini adalah bentuk pelarian dari ketidakmampuan kita beradu argumen secara sehat. Sering kali, kita tidak benar-benar ingin mengubah dunia menjadi lebih baik; kita hanya ingin meluapkan amarah yang tak terarah. Diksi penuh kebencian menjadi tameng untuk menutupi kedangkalan berpikir kita.
3. Jargon Kebencian: Ritual "Kami" Lawan "Mereka"