artikel

Relevansi Eksistensi PWI

Minggu, 30 Juli 2023 | 13:48 WIB
Hendry CH Bangun

Soal cintanya kepada PWI, saya tidak meragukan, saya alami saat 10 tahun menjadi Sekjen PWI Pusat di bawah Ketua Umum Margiono (almarhum). Saat menjadi Menteri BUMN, DI berkontribusi di kegiatan HPN, di Manado dan Palembang. DI pernah menjadi pengajar di Sekolah Jurnalisme Indonesia yang saat itu program kebanggan PWI. Bahkan dia bersedia hadir di malam penggalangan dana kegiatan PWI. Jadi anggap saja tulisan beliau itu sebagai kritik membangun, karena mungkin PWI saat ini tidak lagi dengan “bunyi” PWI di kancah nasional, kecuali sebagai penyelenggara HPN. ***

Tetapi terus saya merasa tersengat dengan kalimat “tidak bergigi di mata anggotanya sendiri” karena itu berbeda dengan kenyataan. PWI masih dihargai, dihormati anggotanya, meskipun mungkin giginya tidak lagi selengkap di zaman Orde Baru.

Sudah kehilangan taring. Kalau tidak puas wartawan bisa keluar dari PWI dan masuk ke organisasi lain yang mungkin peraturan dasar dan etika organisinya tidak sekeras PWI. Dan PWI tidak dapat berbuat apa-apa karena UU Pers membolehkan wartawan memilih organisasi yang dianggapnya cocok. PWI pun tidak bisa meminta agar bekas anggotanya itu diboikot, seperti zaman Orde Baru di mana wartawan yang keluar dari satu media, dapat meminta pimpinan media lain untuk tidak menerimanya sebagai wartawan.

Baca Juga: Jamaah Mzs Nurussyabaab Depok Hadiri Manasik Umroh Risna Tour And Travel

Di luar itu PWI justru bergigi. Sebagai insiator penetapan uji kompetensi wartawan melalui Piagam Palembang tahun 2010, lembaga uji PWI memiliki kegiatan UKW terbesar dibandingkan dengan berbagai lembaga uji lain termasuk konstituen Dewan Pers lainnya. Sertifikasi kompetensi ini membuat banyak wartawan muda yang memilih PWI sebagai tempat bernaung karena factor program UKW-nya.

Begitu pula Dewan Kehormatan PWI termasuk sangat tegas dalam menjatuhkan sanksi pada wartawan yang melakukan pelanggaran etik dalam karya jurnalistik maupun dalam kegiatan sebagai wartawan anggota PWI.

Begitupun saya terkejut dengan istilah “organisasi PWI praktis lumpuh” karena PWI dengan cabang di 34 provinsi (dan sudah terbentuk PWI di 4 daerah otonomi baru pemekaran Papua dan Papua Barat), tidak pernah berhenti berkegiatan khususnya di daerah. Kegiatan internal atau eksternal masih berjalan, apalagi saat ini Dewan Pers memberikan program uji kompetensi gratis bagi ribuan wartawan dalam satu tahun, termasuk di dalamnya anggota PWI di provinsi.

PWI pun tidak pernah absen dari kegiatan Dewan Pers, termasuk rancangan Peraturan Presiden tentang Jurnalisme Berkualitas, yang tengah ramai diributkan. Apakah usulan dan partisipasi PWI dalam berbagai kegiatan itu didengakan dan memberikan arti penting dan substantif, atau tidak, tentu itu persoalan lain. Eksistensi PWI masih jelas dan nyata. ***

Baca Juga: Abraham Samad: Pimpinan KPK Dungu dan Memalukan

Yang dipersoalkan di atas hanyalah hal kecil dibandingkan dengan makna kehadiran PWI bagi bangsa Indonesia, apalagi kalau dilihat dari sejarah. PWI yang didirikan setelah kongres tanggal 9-10 Februari 1946 di Solo, lahir dalam suasana perjuangan mempertahakan kembali Republik Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Belanda yang membonceng sekutu, sudah menguasai sebagian besar republik, dan wartawan ikut berjuang tidak hanya melalui pemberitaan di media, bahkan secara fisik di medan konflik. Di PBB Indonesia menjadi topik pembahasan. Di dalam negeri berbagai kelompok menyatakan sikapnya mendukung Soekarno-Hatta, dinyatakan dalam pertemuan, dan ramai diberitakan. Seperti serikat guru, serikat pekerja telekomunikasi, dll.

Oleh karena itu tidak mengherankan, poin pertama dalam Kongres PWI adalah “ikut menjaga kedaulatan bangsa”, karena kesadaran bahwa PWI adalah anak kandung Indonesia yang harus ikut “cawe-cawe” ketika negaranya sedang dalam bahaya. Marilah membayangkan kehadiran tokoh-tokoh seperti Bung Tomo, Manai Sophiaan, BM Diah, Soemanang, Soemantoro, di acara kongres yang dihadiri Menteri Penerangan M Tabrani, Menteri Pertahanan Amir Syarifudin, dan tokoh pergerakan Tan Malaka, di antara 180 peserta.

Merasa sebagai bagian dari republik itu pulalah yang membuat PWI di dalam Peraturan Dasar-nya menyatakan tujuan organisasi PWI adalah: (a) tercapainya cita-cita Rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Itu lebih penting dibanding urusan pers, yang di taruh di urutan berikutnya (b) Terwujudnya kehidupan Pers Nasional yang merdeka, profesional, bermartabat, dan beradab, (c) Terpenuhinya hak masyarakat memperoleh informasi yang benar dan bermanfaat, (d) Terwujudnya tugas pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Baca Juga: Dukung Brigjen Asep, Para Pegawai KPK Protes Minta Pimpinan KPK Mundur

Tujuan ini justru sangat relevan sekarang karena semakin kaburnya batas bangsa akibat kemajuan teknologi dan kata nasionalisme menjadi seperti barang using dan dianggap ketinggalan zaman. PWI harus ikut berperan aktif untuk menjaga republik dalam program dan kegiatannya di luar tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi, mengontrol kekuasaan, menjaga kemerdekaan berpendapat dan berserikat, dengan ikut memberikan solusi dan saran-saran. Tentu saja merepotkan tetapi peran sejarah itu harus terus dipelihara oleh PWI.

Halaman:

Tags

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB