Oleh: Khairunnas*
Dalam keseharian, baik di sekolah maupun di lingkungan, kita masih sering mendengar kata-kata, Dasar anak bodoh atau Anak itu nakal, wajar saja ia tidak lulus. Padahal, sadarkah Anda bahwa, setiap anak sesungguhnya adalah cerdas. Namun, terkadang mereka tidak memperoleh akses pembelajaran yang memadai sehingga kemampuan mereka tidak berkembang secara maksimal.
Penggagas Sekolah Alam Indonesia, Almarhum Lendo Novo, menuturkan semasa sekolah beliau pernah dicap sebagai anak nakal atau dalam bahasa psikologi disebut hiperaktif. Padahal, perilaku yang beliau tunjukan itu sejatinya adalah dorongan dari rasa ingin tahunya yang sangat besar. Namun, konsep pendidikan saat itu belum bisa menerima potensi alamiah yang beliau miliki. Padahal, sejatinya beliau adalah anak yang cerdas. Terbukti kemudian beliau berhasil kuliah di salah satu perguruan tinggi terbaik Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pengalamannya selama di bangku sekolah ini mengilhami beliau mendirikan Sekolah Alam Indonesia, yang kemudian diikuti oleh banyak pegiat pendidikan, sehingga konsep sekolah alam pun berkembang ke berbagai wilayah di Indonesia. Secara filosofis, sekolah alam memandang setiap anak cerdas, dengan segala potensinya yang beragam. Oleh karena itu, setiap orang, terutama guru perlu memiliki sudut pandang bahwa semua anak adalah cerdas. Tidak ada anak bodoh. Jika sudut pandang ini dimiliki oleh semua orang, maka anak-anak akan tumbuh sesuai dengan potensinya masing-masing, karena setiap anak diberikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya.
Baca Juga: Status DKI Jakarta Masih Berada di PPKM Level 3
Konsep yang memandang bahwa setiap anak itu cerdas, sejatinya sejalan dengan pandangan Islam. Allah Swt menciptakan manusia dengan sempurna. Dalam Surat At-Tin ayat 4 Allah Swt berfirman, Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah Swt menyebut penciptaan manusia dengan kata ahsan bukan hasan. Keduanya memiliki makna yang berbeda. Dalam bahasa Arab hasan digunakan untuk menyebut baik, sedangkan ahsan untuk yang terbaik. Artinya penggunaan kata ahsan dalam hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt yang terbaik (the best). Manusia bukan sekedar makhluk yang baik, tetapi makhluk yang terbaik atau the best.
Jika Allah Swt saja menyebut manusia the best, pantaskah ada yang menyebut anak bodoh? Semua anak adalah pintar. Oleh karena itu tidak boleh ada anak yang merasa rendah diri dan merasa tidak sempurna akibat sering disematkan prediket-prediket negatif kepadanya. Allah Swt menciptakan manusia, menciptakan setiap anak, menciptakan Anda, menciptakan kita semua dengan bentuk yang terbaik.
Sebagai makhluk yang terbaik, Allah Swt menciptakan manusia dari sumber yang terbaik. Tidak hanya sumbernya, tetapi prosesnya juga terbaik. Nabi Adam As diciptakan oleh Allah Swt dari tanah liat. Tanah yang digunakan adalah tanah yang terbaik.
Penggunaan tanah sesungguhnya memiliki pesan simbolik, yaitu setelah mati manusia akan kembali ke tanah. Namun yang kembali ke tanah hanyalah jasad fisiknya, sedangkan ruhnya akan kembali ke Yang Maha Suci Allah Swt.
Ruh manusia sesungguhnya bersumber dari Allah Swt. Ruh itu kemudian ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Maka lahirlah manusia yang tidak hanya memiliki jasad atau tubuh tetapi juga ruh yang suci. Oleh sebab itu, Islam tidak hanya melihat manusia semata-mata dari sisi fisiologis saja, tetapi juga dari aspek spiritualitas.
Baca Juga: Mendagri Terbitkan Instruksi tentang PPKM Jawa-Bali 14-20 September
Manusia tersusun dari dua unsur, yaitu jasmani dan ruhani. Jasad manusia berasal dari saripati tanah, sementara ruh atau jiwa berasal dari substansi imateri. Para ulama menyebut substansi imateri itu adalah Allah Swt. Oleh sebab itu, setelah manusia meninggal, maka jasadnya akan kembali ke tanah, sedangkan ruhnya kembali kepada Allah Swt.
Secara jasmani manusia dilengkapi dengan berbagai kemampuan seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium, bergerak dan pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan secara ruhani manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dengan otaknya dan merasa dengan hati atau kalbunya.
Kekuatan rasa yang bersumber dari kalbu dipertajam dengan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Semakin banyak dan ikhlas seseorang dalam menjalankan ibadah maka semakin suci ruh atau jiwanya.