Di masa lalu, kita pernah dengan inisiatif sendiri memberi nama jalan dengan tokoh negara lain. Ambil contoh Jalan Patrice Lumumba misalnya yang terletak antara Jalan Gunung Sahari dengan Bandara Kemayoran zaman dulu. Lumumba adalah pemimpin Republik Congo di Afrika. Dia dikudeta dan oleh lawan-lawannya dan dituduh Komunis.
Di zaman Orba yang anti Komunis, nama Jalan Patrice Lumumba diganti dengan Jalan Angkasa sampai sekarang. Nama Angkasa terkait dengan bandara, walau Bandara Kemayoran sudah sejak 1984 pindah ke Cengkareng. Kita tidak merasa berat menggantinya karena nama Jalan Patrice Lumumba karena kita berikan sendiri, bukan atas permintaan Pemerintah Congo.
Dilema Nama Jalan
Saya kira memberi nama jalan dengan nama tokoh atau pahlawan memang akan selalu berhadapan dengan dilema. Seseorang menjadi pahlawan atau menjadi pengkhianat, disukai atau dibenci, sangat tergantung kepada situasi politik pada suatu zaman. Andai ada nama Jalan DN Aidit pada zaman Orde Lama, hampir dapat dipastikan nama jalan itu akan diganti di zaman Orde Baru.
Mohammad Natsir adalah “pemberontak PRRI” di zaman Orla dan Orba. Di zaman Orref (Orde Reformasi) beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Persepsi masyarakat selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Begitulah sejarah manusia,***
Oleh: Yusril Ihza Mahendra
Ketua Umum PBB
Bandung, 21 Oktober 2021.