Edisi.co.id - Ada ustad yang kalau diajak berbicara agama oleh jamaahnya menjauh dengan alasan tidak mau berdebat, kemudian mengeluarkan dalil sebuah hadist, “Aku akan menjamin rumah di tepi surga bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan meskipun benar...” (HR. Abu Daud dari Abu Umamah), sehingga si jamaah bingung dan bertanya dalam hatinya, mengapa bertanya-tanya soal agama sekan tidak di perbolehkan, apa salahnya kita juga mengetahui lebih dalam soal agama?. Kita disuruh cuman mendengarkan selebihnya tertutup untuk lebih tahu, katanya kita harus “sami’na wa’atho’na”, “kami dengar kami taat”. Kalau rasulullah saw masih ada waktu itu mungkin saja, tapi kan ia bukan rasul, masa begitu?. Tanggapan Ustad?
Hem.....
Jangan marah kalau ada yang seperti itu, “la taghdhob walakal jannah”, “jangan marah maka bagimu surga” (HR.Thabrani). Si ustad yakin apa yang dilakukannya karena ingin surga, si pencari ilmu juga kalau ia tahan marah juga akan mendapat surga.
Yang jelas, bolehnya meninggalkan “perdebatan” hanya terhadap orang yang memang sengaja bermain-main dalam agama (6:70).Kalau ia memang ingin belajar agama maka jangan ditinggalkan, bukankah turunnya surat “Abasa” salah satunya karena ada seorang buta bernama Umi Maktum yang ingin belajar agama pada nabi namun agak diabaikan beliau, kemudian langsung dibimbing Allah, “tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya sendiri”, “atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu bermanfaat kepadanya”, (80:4-5).
Baca Juga: Menimbang Esensi Santri Modernitas Peradaban
Al-Quranpun meyuruhnya “...dan berdebatlah(dialog) dengan cara yang baik (16:125). Jadi hadapi saja dulu jangan langsung meninggalkan dengan alasan tidak mau berdebat karena alasan hadist tersebut, kalaulah itu jadi baik tentu nabi tidak melayani mereka-mereka yang mau mendebat, berkembangnya Islam juga salah satunya melalui perdebatan dengan cara yang baik. Mungkin masih ingat ketika Ja’far bin Abu Thalib sebagai pemimpin rombongan hijrah pertama ke Habasya, ia berdebat dengan raja Najasy soal Isa al-Masih dan sang Raja akhirnya faham apa yang disampaikan Rasulullah saw soal Isa sama dengan yang diterima raja melalui keyakinan dalam kitabnya, yang kemudian muslimin saat itu mendapat suaka politik sang raja.